Selasa, 27 Desember 2011

PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN FLU BURUNG

PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Flu burung atau flu unggas (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza yang ditularkan oleh unggas. Virus influenza terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa strain antara lain H1N1, H3N2, H5N1 dan lain-lain.2
Flu burung adalah penyakit pada hewan (zoonosis) dan tidak menular ke manusia. Dalam perkembangannya virus penyebabnya mengalami mutasi genetik sehingga juga dapat menginfeksi manusia. Mutasi ini dalam perkembangannya dapat menyebabkan pandemik.
Di Indonesia, flu burung telah menyerang peternakan unggas pada pertengahan Agustus 2003. Sampai awal 2007 menurut Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan Departemen Pertanian tercatat 30 provinsi mencakup 233 kabupaten/kota yang dinyatakan tertular flu burung pada unggas.
Pada manusia pertama kali terjadi pada bulan Juni 2005 dimana virus flu burung/H5N1 telah menyerang tiga orang dalam satu keluarga dan mengakibatkan kematian ketiganya. Sejak saat itu jumlah penderita flu burung terus bertambah, sampai Maret 2007 jumlah penderita flu burung yang terkonfirmasi sebanyak 89 orang dan 68 orang diantaranya meninggal (berarti Case Fatality Rate nya sekitar 76,4%). Hal ini bisa disebabkan sifat karakteristik virus yang sangat ganas, keterlambatan dalam deteksi dini (belum adanya kit diagnosa cepat yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi), keterlambatan rujukan ke rumah sakit dan satu-satunya obat yang tersedia adalah oseltamivir yang harus diberikan dalam 48 jam pertama sejak timbul gejala.
Seluruh kasus tersebar di sembilan provinsi yang merupakan daerah KLB AI pada unggas yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan. Penderita Flu Burung paling banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat (32,6%), kedua di DKI Jakarta (24,9%) dan ketiga di Banten (13,5%). Hal ini bisa disebabkan karena di ketiga provinsi tersebut tingkat kepadatan populasi manusia dan populasi unggas dalam suatu wilayah yang tinggi.
Berdasarkan riwayat epidemiologis 54% mempunyai riwayat kontak langsung dengan unggas sakit/mati; 30% kontak dengan lingkungan dimana terdapat kematian unggas akibat H5N1; 1% kontak dengan pupuk kandang tercemar; 15% tidak diketahui sebabnya.
Dari 86 kasus konfirmasi diperoleh sebanyak 56% laki-laki dan 44% perempuan. Sebaran kasus menurut kelompok usia 0-5th sebanyak 11,24%; 6-15th sebanyak 28,09%; 15-45 th sebanyak 59,55%; > 45 th sebanyak 1,12%. Penderita Flu Burung lebih banyak pada laki-laki dan menimpa usia produktif, hal dimungkinkan karena keterpaparan terhadap faktor resiko lebih tinggi pada laki-laki dan usia produktif.
Saat ini jumlah kasus flu burung pada manusia di Indonesia terbanyak ke-2 setelah Vietnam, dengan angka kematian tertinggi di dunia. Dibandingkan negara-negara lain yang juga tertular avian influenza/H5N1, penyakit flu burung di Indonesia terus berkembang dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Para ahli memperkirakan setiap 10-40 tahun, apabila muncul subtipe virus influenza A yang baru, akan muncul suatu pandemi seperti yang terjadi pada tahun 1918 (H1N1), 1957 (H2N2) dan 1968 (H3N2). Pada saat ini telah teridentifikasi subtipe baru yaitu virus H5N1 yang terus menyebar ke berbagai negara sehingga diprediksi virus pandemi influenza berasal dari mutasi virus (reassortment) H5N1.
Tabel 1 Jumlah Kumulatif Kasus Konfirmasi Flu Burung sampai 16 Oktober 2006.
2003
2004
2005
2006
Total
Negara
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Azerbaijan
0
0
0
0
0
0
8
5
8
5
Cambodia
0
0
0
0
4
4
2
2
6
6
China
1
1
0
0
8
5
12
8
21
14
Djibouti
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
Egypt
0
0
0
0
0
0
15
6
15
6
Indonesia
0
0
0
0
19
12
53
43
72
55
Iraq
0
0
0
0
0
0
3
2
3
2
Thailand
0
0
17
12
5
2
3
3
25
17
Turkey
0
0
0
0
0
0
12
4
12
4
Viet Nam
3
3
29
20
61
19
0
0
93
42
Total
4
4
46
32
97
42
109
73
256
151
Adapun fase-fase Pandemi Influenza adalah sebagai berikut :
TINGKATAN PANDEMI WHO
Periode Inter-pandemi
Fase 1
Tidak adanya subtipe virus influenza baru pada manusia, terdapat infeksi pada binatang (unggas) dengan risiko rendah penularan pada manusia.
Fase 2
Tidak adanya subtipe virus influenza baru pada manusia, terdapat infeksi pada binatang (unggas) dengan risiko tinggi penularan pada manusia.
Periode Waspada pandemi
Fase 3
Manusia terinfeksi dengan virus subtipe baru; tidak adanya penularan manusia ke manusia.
Fase 4
Penularan manusia ke manusia pada klaster kecil dan terlokalisir pada area yang kecil.
Fase 5
Klaster besar, masih terlokalisir; virus mulai beradaptasi ke manusia.
Periode Pandemi
Fase 6
Penularan yang meningkat dan transmisi berkelanjutan pada manusia.
Periode Pasca Pandemi
Tabel 2 . Fase Pandemik Flu Burung 3
Negara Indonesia saat ini berada pada fase 3, dimana telah terjadi penularan subtipe virus influenza pada manusia namun belum ada penularan dari manusia ke manusia dan apabila terdapat penularan antar manusia merupakan penularan yang sangat terbatas dan tidak berkelanjutan.
Virus Flu Burung (H5N1) pertama kali dapat menginfeksi manusia pada tahun 1997 di Hongkong yang menyebabkan 18 orang sakit dan 6 orang diantaranya meninggal. Di antara 2003 dan 2004 virus ini menyebabkan outbreak (wabah) pada unggas dimana dalam upaya pencegahannya sekitar 100 juta unggas mati baik dimusnahkan atau mati karena virus ini.
Pada tanggal 19 September 2005 Menteri Kesehatan RI telah menyatakan penyakit Flu Burung sebagai Kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1372/Menkes/SK/IX/2005.
WHO mengkoordinasi tindakan internasional PBB di bidang ini, karena flu burung merupakan ancaman bagi manusia. WHO bekerja sama dengan pemerintah dan mitra-mitra lainnya untuk meningkatkan pemantauan terhadap virus flu dan infeksi pada manusia, peningkatan ketersediaan obat-obat antiretroviral dan pengurangan
waktu yang diperlukan untuk membuat vaksin flu burung, serta pengembangan beberapa rencana darurat.
Penatalaksanaan pasien flu burung secara optimal menjadi tanggung jawab semua profesional kesehatan. Tata laksana pengobatan bagi penderita flu burung adalah rawat inap di rumah sakit pada ruang isolasi untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang sesuai, karena sifat penyakit yang ganas.
Apoteker dalam hal ini bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) untuk menjamin terapi medis yang optimal atau proses pengobatan berjalan sesuai dengan standar pelayanan yang telah ada.
1.2
TUJUAN
1.2.1
Tujuan Umum :
Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian untuk pasien flu burung.
1.2.2
Tujuan Khusus :
a.
Memberikan informasi secara runut dan rinci tentang flu burung dan cara-cara pencegahan yang sederhana.
b.
Panduan apoteker dalam melaksanakan Pharmaceutical Care pada pasien flu burung.
BAB II
PENGENALAN PENYAKIT
2.1
Etiologi dan Patogenesis
Virus flu burung termasuk ke dalam genus influenza dan famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A, B dan C. Virus flu burung/avian influenza merupakan virus influenza tipe A sedangkan virus influenza B dan C hanya menginfeksi manusia. Virus influenza tipe A memiliki dua jenis glikoprotein permukaan yaitu Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N), kedua protein permukaan ini akan menentukan subtipe virus flu burung yang banyak jenisnya. Virus influenza tipe A memiliki 16 subtipe H dan 9 subtipe N.
Virus penyebab Flu Burung di Indonesia adalah Virus Influenza A subtipe H5N1. Virus Influenza A subtipe H5N1 adalah salah satu virus tipe A yang dikenal sebagai virus influenza unggas yang sangat patogen (Highly Pathogenic Avian Influenza - HPAI).
TAHUN
SUBTIPE
LOKASI
KASUS
MENINGGAL
1996
H7N7
United Kingdom
1
0
1997
H5N1
Hong Kong
18
6
1998
H9N2
China
6
0
1999
H9N2
Hong Kong
2
0
2002
H7N2
United States
1
0
2003
H7N2
United States
1
0
2003
H9N2
Hong Kong
1
0
2003
H5N1
Hong Kong
2
1
2003
H7N7
Netherlands
89
1
2004
H7N3
Canada
2
0
2003 – 2006
H5N1
Worldwide
258
154
Tabel 3 Virus Flu Burung yang menginfeksi manusia
Dari semua tipe tersebut, hanya virus influenza A subtipe H5 dan H7 yang telah diketahui dapat menyebabkan penyakit yang sangat ganas. Meski demikian, tidak semua virus influenza subtipe H5 dan H7 bersifat ganas, dan juga tidak semuanya menyebabkan penyakit pada unggas, tergantung kombinasi dengan glikoprotein N1-9.
Di dalam virus influenza tipe A dapat terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan – perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi.
Sifat Virus Influenza A :
a.
Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22º C dan lebih dari 30 hari pada 0º C.
b.
Virus akan mati pada pemanasan 80º C selama 1 menit, 60º C selama 30 menit atau 56º C selama 3 jam.
c.
Di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama.
d.
Mati dengan sinar UV, detergen, desinfektan (seperti formalin), cairan yang mengandung iodin serta natrium kalium hipoklorit (contohnya pemutih baju).
Untuk seasonal influenza komplikasi banyak terjadi pada anak-anak dan orang tua, namun pada flu burung komplikasi justru banyak terjadi pada manusia dengan status imunitas tinggi karena virus flu burung menyebabkan respon bunuh diri dari imunitas sehingga menimbulkan cytokine storm pada paru-paru.
2.2 Penyebaran dan Penularan Flu Burung
Proses penyebaran flu burung belum sepenuhnya dipahami. Bebek dan angsa yang merupakan ordo Anseriformes serta flu burung camar dan burung laut dari ordo Charadriiformes adalah pembawa (carrier) virus influenza A subtipe H5 dan H7. Virus yang dibawa oleh unggas ini umumnya kurang ganas (LPAIV). Unggas air liar ini juga menjadi reservoir alami untuk semua virus influenza. Diperkirakan penyebaran virus flu burung karena adanya migrasi dari unggas liar tersebut. Beberapa cara penularan virus flu burung yang mungkin terjadi :
A.
Penularan Antar Unggas
Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui :
i.
Pergerakan unggas yang terinfeksi
ii.
Kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan
iii.
Lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km
iv.
Kereta/lori yang digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain
v.
Kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat
B. Penularan dari Unggas Ke Manusia
Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1.
Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah :

Pekerja di peternakan ayam

Pemotong ayam

Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung

Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung

Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung
C.
Penularan Antar Manusia
Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak efisien dan tidak berkelanjutan.
Menurut WHO, pada 2004 di Thailand dan 2006 di Indonesia, diduga terjadi adanya penularan dari manusia ke manusia tetapi belum jelas. 3
Model penularan ini perlu diantisipasi secara serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan mengancam kesehatan, kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi karena virus flu burung memiliki kemampuan untuk menyusun ulang materi genetik virus flu burung dengan virus influenza manusia sehingga timbul virus Influenza subtipe baru yang sangat mudah menular (reassortment).
D.
Penularan dari Lingkungan ke Manusia
Secara teoritis, model penularan ini dapat terjadi oleh karena ketahanan virus H5N1 di alam atau lingkungan. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penularan flu burung pada manusia namun diperkirakan melalui saluran pernapasan karena dari hasil penelitian didapatkan reseptor H5N1 pada saluran napas manusia terutama saluran napas bagian bawah dan setiap orang memiliki jumlah reseptor yang berbeda-beda, sedangkan pada saluran percernaan ditemukan reseptor dalam jumlah yang sangat sedikit namun belum bisa dibuktikan penularan flu burung melalui saluran pencernaan dan ada referensi yang mengatakan bahwa reseptor H5N1 pada manusia hanya terdapat pada saluran pernapasan jadi hal ini masih diperdebatkan. Kotoran unggas, biasanya kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk, menjadi salah satu faktor risiko penyebaran
flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekret burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung (H5N1) atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
E.
Penularan ke Mamalia Lain
Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar secara langsung pada beberapa mamalia yang berbeda yaitu babi, kuda, mamalia yang hidup di laut, familia Felidae (singa, harimau, kucing) serta musang (stone marten).
2.3 Masa Inkubasi dan Gejala
a.
Masa Inkubasi
- Pada Unggas : 1 minggu
- Pada Manusia : 1 – 7 hari (rata-rata 3 hari.)
Masa infeksi 1 hari sebelum, sampai 3 - 5 hari sesudah timbul gejala, pada anak sampai 21 hari.
b. Gejala flu burung pada unggas dan manusia :
i . Gejala pada unggas
-
Jengger berwarna biru
-
Pendarahan merata pada kaki yang berupa bintik-bintik merah atau sering terdapat borok di kaki yang disebut dengan ”kaki kerokan”.
-
Adanya cairan pada mata dan hidung sehingga terjadi gangguan pernapasan
-
Keluar cairan jernih sampai kental dari rongga mulut
-
Diare
-
Haus berlebihan dan cangkang telur lembek
-
Kematian mendadak dan sangat tinggi jumlahnya mendekati 100% dalam waktu 2 hari, maksimal 1 minggu
ii. Gejala pada manusia
Gambaran klinis pada manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa. Diawali dengan demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala dan pilek. Dalam perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi misalnya terjadinya gagal napas karena pneumonia dan gangguan fungsi tubuh lainnya karena sepsis.
2.4 Diagnosis 1, 5, 6, 9, 11,
Diagnosis ditegakkan dengan :
1.
Anamnesis tentang gejala yang diderita oleh penderita dan adanya riwayat kontak atau adanya faktor risiko, seperti kematian unggas secara mendadak, atau unggas sakit di peternakan/dipelihara di rumah, atau kontak dengan pasien yang didiagnosis avian influenza (H5N1), atau melakukan perjalanan ke daerah endemis avian influenza 7 hari sebelum timbulnya gejala .
2.
Pemeriksaan fisik: suhu tubuh > 38º C, napas cepat dan hiperemi farings (farings kemerahan).
3.
Pada pemeriksaan laboratorium (darah) diperoleh leukopenia, limfopenia, trombositopenia ringan sampai sedang dan kadar aminotransferase yang meningkat sedikit atau sedang, kadar kreatinin juga meningkat.
4.
Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit diperlukan untuk mengetahui status oksigenasi pasien, keseimbangan asam-basa dan kadar elektrolit pasien.
5.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya avian influenza H5N1 a.l. dengan Immunofluorescence assay, Enzyme Immunoassay, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Real-time PCR assay, Biakan Virus. Dari hasil pemeriksaan ini dapat ditentukan status pasien apakah termasuk curiga (suspect), mungkin (probable) atau pasti (confirmed).
6.
Pada pemeriksaan radiologi dengan melakukan X-foto toraks didapatkan gambaran infiltrat yang tersebar atau terlokalisasi pada paru. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi oleh karena virus atau bakteri di paru-paru atau yang dikenal dengan pneumonia. Gambaran hasil radiologi tersebut dapat menjadi indikator memburuknya penyakit avian influenza.
2.5
Definisi Kasus 7
Dalam melakukan surveilans AI perlu mengetahui definisi kasus AI, yaitu :

Seseorang dalam Penyelidikan

Kasus Suspek

Kasus Probabel

Kasus Konfirmasi
1.
Seseorang dalam Penyelidikan
Seseorang atau sekelompok orang yang diputuskan oleh pejabat kesehatan yang berwenang, untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kemungkinan terinfeksi H5N1.
Contoh :
Antara lain orang sehat (tidak ada gejala klinis) tetapi kontak erat dengan kasus (suspek, probable atau konfirmasi) atau penduduk sehat yang tinggal di daerah terjangkit flu burung pada unggas.
2.
Kasus Suspek
Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38º C disertai satu atau lebih gejala :

Batuk

Sakit tenggorokan

Pilek

Sesak napas
dan
Terdapat salah satu atau lebih keadaan di bawah ini :
a)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, mempunyai riwayat kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirmasi) seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dalam jarak < 1 (satu) meter.
b)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, mempunyai riwayat kontak erat dengan unggas (misalnya menyembelih, menangani, membersihkan bulu atau memasak).
c)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis mempunyai riwayat kontak dengan unggas, bangkai unggas, kotoran unggas, bahan atau produk mentah lainnya di daerah yang satu bulan terakhir ini telah terjangkit flu burung pada unggas, atau adanya kasus pada manusia (suspek, probable atau konfirmasi)
d)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis mempunyai riwayat mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna, yang berasal dari daerah yang satu bulan terakhir telah terjangkit flu burung pada unggas, atau adanya kasus pada manusia (suspek, probable atau konfirmasi).
e)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis kontak erat dengan binatang selain unggas yang dikonfirmasi terinfeksi H5N1 antara lain babi atau kucing.
f)
Dalam 7 (tujuh) hari terakhir sebelum muncul gejala klinis, memegang atau menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1.
g)
Ditemukan leukopenia (jumlah leukosit/sel darah putih di bawah nilai normal).
h)
Ditemukan titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji H1 menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA untuk influenza A tanpa subtipe.
i)
Foto rontgen dada/toraks menggambarkan pneumonia yang cepat memburuk pada serial foto.
3.
Kasus Probable
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini:
a)
Ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali dengan pemeriksaan uji H1 menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA.
b)
Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5 (terdeteksi antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji Netralisasi (dikirim ke laboratorium rujukan).
atau
seseorang yang meninggal karena penyakit saluran napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya dan secara epidemiologis menurut waktu, tempat dan pajanan berhubungan dengan kasus probabel atau kasus konfirmasi.
4.
Kasus Konfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau kasus probabel
dan disertai
Hasil positif salah satu hasil pemeriksaan laboratorium berikut :
a)
Isolasi virus influenza A/H5N1 positif.
b)
PCR Influenza A/H5N1 positif
c)
Peningkatan > 4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil < 7 hari setelah muncul gejala penyakit) dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula > 1/80.
d)
Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 > 1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke 14 atau lebih setelah muncul gejala penyakit (onset) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda > 1/160 atau Western Blood spesifik H5 positif.
BAB III
FARMAKOTERAPI
Seperti penyakit virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada obat yang efektif. Penderita hanya akan diberi obat untuk meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah merekomendasikan 4 (empat) jenis obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza A.
Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadin dan rimantadin) dan neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan zanamivir). Keempat obat ini dapat digunakan yang biasa kita kenal (seasonal influenza). Akan tetapi, tidak semua obat antivirus ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, virus H5N1 sudah resisten terhadap amantadin dan rimantadin.
Oseltamivir yang diberikan secara oral dan zanamivir secara inhalasi (dihirup) efektif melawan virus H5N1. Selain digunakan dalam pengobatan, oseltamivir juga dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis atau pencegahan terhadap penyakit flu burung.
3.1 OSELTAMIVIR FOSFAT 10
Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12 mg/mL).
􀂾
INDIKASI
Infeksi influenza
Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari 1 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari.
Profilaksis : untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak yang lebih dari 13 tahun. Oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi.
􀂾
DOSIS DAN PENGGUNAAN
Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika digunakan bersamaaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat.
Pengobatan influenza :
Dewasa dan Anak lebih dari 13 tahun : dosis oral yang direkomendasikan adalah 75 mg dua kali sehari selama 5 hari. Pengobatan dimulai setelah timbul gejala influenza dalam dua hari.
Anak – anak : dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak di atas 1 tahun dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah sebagai berikut:
DOSIS SUSPENSI ORAL OSELTAMIVIR
Berat Badan (kg)
Dosis yang direkomendasikan untuk 5 hari
Volume
< 15
30 mg dua kali sehari
2,5 mL (1/2 sdt)
>15 - 23
45 mg dua kali sehari
3,8 mL (3/4 sdt)
>23 - 40
60 mg dua kali sehari
5 mL (1 sdt)
>40
75 mg dua kali sehari
6,2 mL (1 1/4 sdt)
Profilaksis Influenza :
Dosis oseltamivir oral yang direkomendasikan untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak di atas 13 tahun yang telah mengalami kontak langsung dengan individu yang terinfeksi adalah 75 mg sekali sehari, sekurang-kurangnya selama 7 hari. Terapi sebaiknya dimulai setelah 2 hari terpajan. Dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis selama terjadi wabah influenza adalah 75 mg sekali sehari.
Gangguan fungsi ginjal :
Pengobatan influenza : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin klirens 10-30 mL/menit. Pada kondisi ini, direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg sekali sehari selama 5 hari.
Profilaksis : untuk profilaksis, penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin klirens 10 – 30 mL/menit. Pada kondisi ini, direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg pada waktu tertentu.
􀂾
MEKANISME KERJA
Farmakologi : oseltamivir adalah suatu bentuk etil ester yang memerlukan perubahan menjadi bentuk aktif oseltamivir karboksilat. Mekanisme kerja dari oseltamivir adalah inhibisi neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas.
Farmakokinetik :
Absorpsi : oseltamivir fosfat diabsorpsi melalui saluran pencernaan setelah pemberian secara oral. Konsentrasi puncak rata-rata dari oseltamivir dan oseltamivir karboksilat adalah 65,2 ng/mL dan 348 ng/mL, setelah pemberian 75 mg, dua kali sehari. Area di bawah kurva (AUC) dari 0-12 jam adalah 112 ng/mL untuk oseltamivir dan 2719 ng/mL untuk oseltamivir karboksilat. Pemberian oseltamivir bersamaan dengan makanan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap konsentrasi plasma puncak dan area bawah kurva.
Distribusi : ikatan oseltamivir karboksilat terhadap protein plasma manusia adalah rendah (3%). Ikatan oseltamivir terhadap protein plasma adalah 42% artinya belum cukup mampu untuk menyebabkan pergeseran yang signifikan dalam interaksi obat.
Metabolisme : oseltamivir secara ekstensif berubah menjadi oseltamivir karboksilat melalui proses esterase yang berlangsung di liver. Baik oseltamivir maupun oseltamivir karboksilat merupakan substrat untuk atau inhibitor dari isoform sitokrom P450.
Ekskresi : oseltamivir yang diabsorsi, secara umum (sekitar 90 %) dieliminasi melalui konversi menjadi oseltamivir karboksilat. Konsentrasi plasma oseltamivir menurun dalam waktu paruh 1-2 jam pada kebanyakan subjek percobaan setelah pemberian oral. Oseltamivir karboksikat tidak mengalami perubahan metabolisme lebih lanjut dan dieliminasi melalui urin. Konsentrasi plasma dari oseltamivir karboksilat akan menurun dalam waktu paruh 6-10 jam pada kebanyakan subjek percobaan. Oseltamivir karboksilat dieliminasi secara keseluruhan (99%) melalui ekskresi ginjal. Klirens ginjal (18,8 L/jam) melebihi kecepatan flitrasi glomerulus (7,5 L/jam) menunjukkan terlibatnya sekresi tubulus, sebagai tambahan dari flitrasi glomerulus. Kurang dari 20% dosis oral dieliminasi melalui feces.
􀂾
KONTRA INDIKASI
Oseltamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap komponen yang ada di dalam produk.
􀂾
PERHATIAN
Gangguan fungsi ginjal : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan klirens kurang dari 30 mL/menit (lihat bagian dosis dan pemberian).
Kondisi menyusui : belum diketahui apakah oseltamivir dan oseltamivir karboksilat diekskresikan ke dalam air susu. Dengan demikian, oseltamivir hanya digunakan jika manfaat lebih besar daripada risikonya.
Anak –anak : keamanan dan efikasi oseltamivir pada anak kurang dari 1 tahun belum diketahui.
􀂾
PERINGATAN
Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari influenza.
Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk oseltamivir terhadap infeksi lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza tipe A dan B.
Mulai pengobatan : efikasi dari oseltamivir pada pasien yang mulai diobati setelah 40 jam gejala tidak diketahui.
Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui.
Pencegahan influenza : penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum diketahui).
􀂾
INTERAKSI OBAT
Probenecid : penggunaan bersama oseltamivir dan probenecid akan menghasilkan peningkatan konsentrasi oseltamivir karboksilat kira-kira sebesar 2 kali karena adanya penurunan sekresi tubular anionik di ginjal.
􀂾
EFEK SAMPING
Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah sakit perut, batuk, diare, sakit kepala, mual dan muntah.
􀂾
CATATAN
Belum ada kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk menggunakan oseltamivir sebagai profilaksis.
3.2 ZANAMIVIR 10
Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk blister 5 mg.
􀂾
INDIKASI
Infeksi influenza
Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A dan B pada pasien dewasa dan anak lebih dari 7 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari. Zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien yang mengalami penyakit kerusakan saluran pernapasan seperti asma atau penyakit kerusakan paru-paru kronik (COPD).
􀂾
DOSIS DAN PENGGUNAAN
Zanamivir digunakan untuk saluran pernapasan melalui inhalasi oral dengan menggunakan alat “diskhaler” yang disertakan bersama obat. Pasien harus diberi penjelasan tentang cara penggunaan obat, jika mungkin disertai demonstrasi cara pemakaian obat. Jika zanamivir diresepkan untuk anak-anak, pemakaiannya harus dalam pengawasan dan instruksi orang dewasa. Orang dewasa yang dimaksud disini adalah orang dewasa yang telah diberi penjelasan tentang cara pemakaian obat.
Dosis zanamivir yang direkomendasikan untuk perawatan influenza pada pasien yang berusia lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per inhalasi adalah 5 mg blister, jadi dosis total adalah 10 mg) dua kali sehari (jarak pemakaian 12 jam), selama 5 hari. Dua dosis ini harus digunakan pada pengobatan awal, jika mungkin jarak pemberian adalah 2 jam. Pada hari berikutnya, jarak pemberian adalah 12 jam (misalnya pada malam dan siang hari), waktu pemberian ini hendaknya sama setiap hari. Tidak ada data tentang keefektifan dari pengobatan dengan zanamivir jika dimulai lebih dari dua hari setelah timbul tanda atau gejala. Pasien yang menggunakan bronkodilator bersamaan dengan zanamivir, harus menggunakan bronkodilator terlebih dahulu.
􀂾
MEKANISME KERJA
Farmakologi : Mekanisme kerja dari zanamivir adalah inhibisi neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas.
Resistensi obat : virus influenza dengan kepekaan yang menurun terhadap zanamivir telah diketahui secara in vitro dengan cara melewatkan virus pada konsentrasi obat yang meningkat. Analisis genetik terhadap virus-virus ini menunjukkan bahwa kepekaan virus yang berkurang secara in vitro terhadap
zanamivir berhubungan dengan mutasi yang menghasilkan perubahan asam amino pada neuraminidase atau hemaglutinin atau keduanya.
Resistensi silang : resistensi silang telah dipelajari antara virus influenza mutan yang resisten terhadap zanamivir dan resisten terhadap oseltamivir secara in vitro.
Farmakokinetik :
Absorpsi : sekitar 4% - 17% dari dosis inhalasi akan terabsorbsi secara sistemik. Konsentrasi serum puncak bervariasi antara 17 – 42 ng/mL, dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis 10 mg.
Distribusi :zanamivir memiliki ikatan terhadap protein plasma yang sangat terbatas (kurang dari 10%)
Metabolisme : zanamivir diekskresi melalui ginjal dalam bentuk yang tidak berubah. Tidak ada metabolit yang terdeteksi.
Ekskresi :waktu paruh dari zanamivir setelah pemberian melalui inhalasi oral bervariasi antara 2,5 -5,1 jam. Zanamivir akan diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah dalam urin dengan ekskresi dari dosis tunggal utuh dalam waktu 24 jam. Total klirens adalah 2,5 – 10,9 L/jam. Obat yang tidak diabsorbsi akan diekskresi melalui feces.
􀂾
KONTRA INDIKASI
Zanamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap komponen yang ada di dalam produk.
􀂾
PERHATIAN
Pasien dengan penyakit pernapasan : Zanamivir tidak menunjukkan efektif dan mungkin berisiko untuk pasien dengan penyakit saluran pernapasan parah seperti asma dan penyakit pernapasan serius lainnya. Dengan demikian, zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien dengan gangguan saluran pernapasan seperti asma.
Kehamilan : Kategori C. Tidak ada penelitian yang cukup atau terkontrol dengan baik pada wanita hamil. Penggunaan saat hamil hanya jika manfaat lebih besar daripada risikonya.
Kondisi menyusui : belum diketahui apakah zanamivir diekskresikan ke air susu. Harus disertai perhatian jika memberikan zanamivir untuk pasien yang menyusui.
Anak –anak : keamanan dan efikasi zanamivir pada anak kurang dari 7 tahun belum diketahui.
􀂾
PERINGATAN
Mulai pengobatan : tidak ada data untuk mendukung keamanan dan efikasi pada pasien yang memulai pengobatan setelah 48 jam timbulnya gejala.
Serangan berulang : keamanan dan efikasi dari penggunaan untuk serangan berulang belum diketahui.
Reaksi alergi : reaksi seperti alergi, termasuk edema oropharyngeal dan gangguan kulit serius telah diketahui dari hasil penelitian post marketting zanamivir. Penggunaan zanamivir harus dihentikan dan dimulai pengobatan yang sesuai jika dicurigai akan terjadi reaksi alergi.
Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari influenza. Zanamivir tidak diketahui dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini.
Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk zanamivir terhadap infeksi lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza tipe A dan B.
Pencegahan influenza : keamanan dan efikasi dari zanamivir untuk penggunaan profilaksis untuk mencegah influenza tidak diketahui. penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum diketahui).
Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui.
􀂾
INTERAKSI OBAT
Zanamivir bukan merupakan substrat dan tidak mempengaruhi isoenzim sitokrom P450 (CYP) : CYP1A1/2, 2A6, 2C9, 2C18, 2D6, 2E1, dan 3A4) pada mikrosom liver manusia.
􀂾
EFEK SAMPING
Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah diare, gangguan hidung, mual, sinusitis, infeksi telinga, hidung dan tenggorokan.
Hasil laboratorium : terjadi peningkatan enzim liver, CPK, lymfopenia, neutropenia. Hasil yang diperoleh antara pemberian zanamivir dan plasebo menunjukkan hasil yang mirip.
3.3
Obat – Obat Penunjang
Analgesik-antipiretik, antibiotik, vitamin, kortikosteroid, simpatomimetik, cairan elektrolit dan nutrisi.
3.4
Ketersediaan Obat Flu Burung
Ketersediaan obat flu burung mengacu pada Pedoman Pengelolaan Tamiflu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan – Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan – Departemen Kesehatan RI.
3.5
Vaksin Flu Burung
Departemen Kesehatan RI masih dalam persiapan untuk memproduksi vaksin flu burung dari strain virus H5N1 asal Indonesia karena hasil pengujian rantai RNA menunjukkan bahwa virus H5N1 yang menginfeksi warga Indonesia merupakan
virus asli Indonesia. PT. Biofarma, Badan Usaha Milik Negara yang menjadi mitra pemerintah dalam penyediaan vaksin hingga saat ini masih melakukan berbagai pembicaraan dengan pihak Baxter Bioscience. Pihak PT. Biofarma sendiri tetap menyiapkan berbagai sarana produksi yang diperlukan dalam pembuatan vaksin tersebut.
3.6
Catatan Khusus
Asetosal sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak dan remaja karena dapat menyebabkan Reye Syndrome.
BAB IV
PENCEGAHAN (TINDAKAN PENGAMANAN)
Pengendalian atau penanggulangan flu burung yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan baik itu ke hewan maupun manusia. Berikut adalah hal – hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan flu burung 8:

Hindarilah terpapar/terkena cairan yang ada pada paruh, hidung dan mata unggas yang sakit.

Anak-anak mudah tertular flu burung. Jauhkan dan jangan dibiarkan bermain dengan unggas, telur, bulu unggas, dan lingkungan yang tercemar kotoran unggas.

Buang dan timbunlah dengan tanah, kotoran unggas yang ada disekitar rumah.

Jangan memegang unggas yang mati mendadak tanpa sarung tangan, penutup hidung/mulut,sepatu/penutup kaki. Sebaiknya segera kubur unggas itu.

Cuci daging dan telur unggas sebelum dimasak atau disimpan di kulkas.

Masaklah daging dan telur unggas sampai matang sebelum dimakan. Virus flu burung bisa menular melalui telur atau daging unggas yang tidak dimasak sampai matang.

Jangan mengkonsumsi daging unggas yang terkena flu burung.

Bangkai unggas jangan dijual/dimakan. Segera kubur agar penyakitnya tidak menular ke unggas lain, anda sendiri, keluarga dan tetangga serta masyarakat luas.

Jauhkan kandang unggas dari rumah tinggal. Kandangkan unggas dalam kurungan agar tidak tertular penyakit dari unggas lain.

Pakai penutup hidung/masker dan kacamata renang (goggle) jika berada dipeternakan ayam atau unggas berkumpul.

Cuci tangan dengan sabun setelah memegang unggas atau telur. Mandi dan cuci pakaian setelah mengubur unggas mati.

Bila ada yang merasa terkena flu, badan panas, pusing, sesak napas setelah ada unggas mati mendadak, segera pergi ke Puskesmas atau dokter. Jangan sampai terlambat
BAB V
PERAN APOTEKER DALAM MELAKSANAKAN PHARMACEUTICAL CARE
5.1 Pharmaceutical Care
Orientasi terhadap kepentingan pasien tanpa mengesampingkan jaminan kualitas produk dikenal dengan konsep Pharmaceutical Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang berkaitan dengan obat dan penggunaannya; semakin meningkatnya keadaan sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat; serta adanya tuntutan dari masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun di komunitas, Pharmaceutical Care merupakan hal yang mutlak harus diterapkan.
Penekanan Pharmaceutical care terletak pada dua aspek utama, yaitu:
􀂃
Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kondisi penyakit pasien.
􀂃
Apoteker membuat komitmen bersama pasien dan/atau yang merawat untuk melanjutkan secara berkesinambungan sehingga dapat dicapai tujuan pelayanan kefarmasian yaitu maksimalisasi efek terapi obat, minimalisasi efek obat yang tidak dikehendaki, efektivitas biaya pengobatan, dan penghargaan atas pilihan pasien..
Secara prinsip, Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan, yaitu:
1.
Penggalian dan penyusunan informasi dasar atau data dasar pasien.
2.
Evaluasi atau pengkajian (Assessment) riwayat penggunaan obat oleh pasien.
3.
Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK).
4.
Implementasi RPK.
5.
Monitoring implementasi.
6.
Tindak lanjut terhadap hasil monitoring.
Keseluruhan tahap pelayanan kefarmasian ini dilakukan dalam suatu proses berkesinambungan yang disertai penyuluhan dan konseling kepada pasien mengenai penyakit yang diderita dan pengobatannya.
5.2 Peran Apoteker
Sebagai seorang tenaga profesional, seorang Apoteker hendaknya berperan dalam membantu upaya pemerintah dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Apoteker khususnya harus berperan aktif dalam penanganan penyakit-penyakit yang membutuhkan pengobatan segera maupun jangka panjang, memiliki
prevalensi yang tinggi atau juga yang membahayakan jiwa. Penyakit flu burung (virus H5N1) termasuk penyakit yang sangat potensial membawa dampak penyebaran yang cepat dan mengancam jiwa masyarakat Indonesia, kemampuan penyebarannya bisa sangat cepat, kemungkinan penularan antar manusia sangat dikhawatirkan dan oleh karena itu membutuhkan penanganan yang tepat dan segera. Peran serta Apoteker ini didasari dengan pengetahuan yang dimiliki Apoteker tentang patofisiologi penyakit; obat-obatan yang diperlukan atau harus dihindari oleh pasien penyakit flu burung (virus H5N1) dan hal-hal yang harus dipersiapkan dan dihindari oleh tenaga kesehatan termasuk apoteker dalam melaksanakan tugasnya.
Peran aktif Apoteker di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Memastikan bahwa prosedur pengendalian infeksi berada di tempat di dalam sistem pelayanan kesehatan dan digunakan oleh semua yang terlibat dalam mengelola penyakit hewan maupun manusia serta kasus dugaan. Dalam hal ini termasuk perlindungan terhadap tenaga kesehatan maupun individu yang terlibat dalam eradikasi flu burung (virus H5N1) serta pasien yang terinfeksi dengan flu burung (virus H5N1).
2.
Melakukan upaya pencegahan penyakit flu burung (virus H5N1)
Upaya ini diwujudkan melalui:
-
Pemberian penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit flu burung (virus H5N1); gejala awal, sumber penyakit, cara pencegahan, penanggulangan penyebaran, dan pertolongan pertama yang harus dilakukan.
-
Pembuatan buletin, leaflet, poster, dan iklan layanan masyarakat seputar penyakit flu burung (virus H5N1) dalam rangka edukasi masyarakat.
-
Berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyebaran infeksi virus di rumah sakit melalui Komite Pengendali Infeksi dengan memberikan saran tentang pemilihan antiseptik dan desinfektan; menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah terkontaminasinya produk obat yang diracik di instalasi farmasi atau apotek; menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat kesehatan, pemilihan alat pelindung diri, injeksi, infus, alat kesehatan yang digunakan untuk tujuan baik invasive maupun non-invasif, serta alat kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang tindakan, maupun di unit perawatan intensif (ICU).
3.
Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah bertambah parah, atau mencegah kambuhnya penyakit serta mencegah penularan. Hal ini dilakukan dengan cara:
- Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya dan pengendalian diri dan lingkungan dalam upaya mencegah penularan.
-
Menjelaskan obat-obat yang harus digunakan, indikasi, cara penggunaan, dosis, dan waktu penggunaannya.
-
Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapinya dan memonitor kemungkinan terjadinya efek samping obat.
5.3 Kompetensi Apoteker
Kompetensi yang diperlukan seorang Apoteker untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien penyakit flu burung (virus H5N1) di antaranya adalah:
-
Pemahaman prosedur pengendalian infeksi flu burung (virus H5N1)
-
Pemahaman stratifikasi risiko keterpaparan kelompok individu terhadap infeksi flu burung (virus H5N1)*.
-
Pemahaman patofisiologi penyakit flu burung (virus H5N1).
-
Penguasaan farmakoterapi penyakit flu burung (virus H5N1).
-
Penguasaan farmakologi obat-obat yang digunakan pada pengobatan penyakit flu burung (virus H5N1).
-
Memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam pemberian konseling kepada pasien ataupun ketika berdiskusi dengan tenaga kesehatan lain.
-
Memiliki keterampilan dalam mencari sumber literatur untuk Pelayanan Informasi Obat penyakit flu burung (virus H5N1).
-
Monitoring terapi pengobatan yang telah dilakukan dan kemungkinan terjadinya efek samping obat maupun resistensi.
-
Memiliki kemampuan menginterprestasikan hasil laboratorium.
5.4 Konseling
Tujuan pemberian konseling kepada pasien adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya serta untuk memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien. Ada tiga pertanyaan utama umum (Three Prime Questions) yang dapat digunakan oleh Apoteker dalam membuka sesi konseling untuk pertama kalinya. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2.
Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3.
Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
Pengajuan ketiga pertanyaan di atas dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi pemberian informasi yang tumpang tindih (menghemat waktu); mencegah pemberian informasi yang bertentangan dengan informasi yang telah disampaikan oleh dokter (misalnya menyebutkan indikasi lain dari obat yang diberikan) sehingga pasien tidak akan meragukan kompetensi dokter atau apoteker; dan juga untuk menggali informasi seluas-luasnya (dengan tipe open ended question).
Tiga pertanyaan utama tersebut dapat dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut sesuai dengan situasi dan kondisi pasien:
1.
Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan/kegunaan pengobatan anda?

Persoalan apa yang harus dibantu?

Apa yang harus dilakukan?

Persoalan apa yang menyebabkan anda ke dokter?
2.
Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?

Berapa kali menurut dokter anda harus menggunakan obat tersebut?

Berapa banyak anda harus menggunakannya?

Berapa lama anda terus menggunakannya?

Apa yang dikatakan dokter bila anda lupa minum obat?

Bagaimana anda harus menyimpan obatnya?

Apa artinya ‘tiga kali sehari’ bagi anda?
3.
Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?

Pengaruh apa yang anda harapkan tampak?

Bagaimana anda tahu bahwa obatnya bekerja?

Pengaruh buruk apa yang dikatakan dokter kepada anda untuk diwaspadai?

Perhatian apa yang harus anda berikan selama dalam pengobatan ini?

Apa yang dikatakan dokter apabila anda merasa makin parah/buruk?

Bagaimana anda bisa tahu bila obatnya tidak bekerja?
Pada akhir konseling perlu dilakukan verifikasi akhir (tunjukkan dan katakan) untuk lebih memastikan bahwa hal-hal yang dikonselingkan dipahami oleh pasien terutama dalam hal penggunaan obatnya dapat dilakukan dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
“ sekedar untuk meyakinkan saya supaya tidak ada yang kelupaan, silakan diulangi bagaimana Anda menggunakan obat Anda”.
Salah satu ciri khas konseling adalah lebih dari satu kali pertemuan. Pertemuan-pertemuan selanjutnya dalam konseling dapat dimanfaatkan Apoteker dalam memonitoring kondisi pasien. Pemantauan terhadap kondisi pasien dapat dilakukan Apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat pasien menebus obat, atau dengan melakukan komunikasi melalui telepon atau internet. Pemantauan kondisi pasien sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi obat yang digunakan. Apoteker harus mendorong pasien untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin.
5.5 Penyuluhan
Penyuluhan tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit flu burung (virus H5N1) perlu dilaksanakan secara berkelanjutan mengingat sebagian besar penyebab penyakit flu burung (virus H5N1) adalah karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam melindungi diri mereka terhadap penyakit-penyakit virus tersebut. Penyuluhan dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Penyuluhan langsung dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok; sedangkan penyuluhan tidak langsung dapat dilakukan melalui penyampaian pesan-pesan penting dalam bentuk brosur, leaflet atau tulisan dan gambar di dalam media cetak atau elektronik.
Apoteker diharapkan dapat memberikan penyuluhan secara personal dengan pasien penyakit flu burung (virus H5N1). Penyuluhan secara personal dapat meningkatkan upaya pencegahan penularan maupun ketertularan serta kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatannya manakala terserang. Hendaknya Apoteker memastikan bahwa pasien tahu tentang penyakit yang dideritanya, pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan yang disarankan serta akibat dari ketidakpatuhan atau kelalaian dalam menjalankan terapi pengobatannya. Keluarga pasien harus diberi pengertian bahwa penyakit flu burung (virus H5N1), dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut seperti kematian apabila tidak ditangani dengan baik. Keluarga harus segera melapor bila ada dugaan ketertularan atau gejala influenza karena flu burung (virus H5N1) maupun bila ada unggas yang mati tiba-tiba dengan dugaan flu burung (virus H5N1). Demikian pula perlu disampaikan bahwa swamedikasi tidak disarankan tanpa keberadaan tenaga kesehatan yang mengerti tentang hal ini.
5.6 Dokumentasi
Dalam menjalankan tugasnya, seorang Apoteker hendaknya mendokumentasikan segala kegiatannya ke dalam bentuk dokumentasi yang sewaktu-waktu dapat diakses ataupun ditinjau ulang. Hal ini sebagai bukti otentik pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan penelitian maupun verifikasi pelayanan. Dokumentasi juga akan memudahkan tugas Apoteker dalam memberikan pelayanan informasi obat untuk kasus yang sama, Apoteker tidak perlu menelusuri literatur dari awal lagi, cukup dengan melihat arsip kasus sebelumnya.
* Catatan tentang Stratifikasi Keterpaparan Kelompok Individu terhadap infeksi flu burung (virus H5N1) :

Kelompok paparan risiko tinggi
Anggota keluarga seisi rumah atau keluarga dekat atau individu yang dirawat/diasuh (berbicara dalam jarak kurang dari 1 (satu) meter dan tanpa pelindung) dengan/oleh pasien yang diduga kuat atau dipastikan terinfeksi H5N1, karena paparan potensial terhadap sumber lingkungan umum atau peternakan.

Kelompok paparan risiko menengah*
o
Personil yang terlibat dalam penanganan unggas sakit atau dekontaminasi lingkungan terinfeksi (termasuk kotoran unggas) jika peralatan pelindung tidak digunakan dengan tepat.
o
Individu tanpa proteksi dan terpapar dekat1 secara langsung terhadap unggas mati atau sakit yang terinfeksi virus H5N1 atau unggas tertentu yang telah secara langsung mengakibatkan kasus manusia.
o
Tenaga kesehatan yang kontak dekat dengan pasien yang diduga kuat atau dipastikan terinfeksi H5N1, sebagai contoh selama intubasi atau melakukan penyedotan trakea, atau memberikan obat nebulasi atau menangani penutupan cairan tubuh secara tidak memadai tanpa peralatan pelindung yang memadai. Kelompok ini termasuk personil laboratorium yang tanpa pelindung terpapar virus didalam sampel.
1Paparan tanpa proteksi terhadap produk binatang terinfeksi misalnya mengkonsumsi darah dari unggas yang terinfeksi H5N1, sediaan makanan atau produk lainnya dari unggas yang terinfeksi (misalnya bulu-bulunya yang dicabut), atau paparan yang lama terhadap binatang yang terinfeksi pada ruang yang terbatas, misalnya bermain dengan hewan peliharaan.
*Definisi kelompok risiko menengah didasarkan pada sangat sedikit kasus yang dikenal. Karena keadaan dapat berubah dengan sangat cepat, menjadi beralasan untuk menggabungkan kelompok risiko menengah dan tinggi pada keputusan untuk profilaksis. Manakala pada pasien tertentu terjadi transmisi dari manusia ke manusia maka hal ini dimasukkan ke dalam kelompok risiko tinggi.

Kelompok paparan risiko rendah
Tenaga kesehatan yang tidak kontak dekat (jarak > 1 meter) dengan pasien yang diduga kuat atau dipastikan terinfeksi H5N1 dan tidak kontak langsung dengan bahan terinfeksi yang berasal dari pasien.
BAB VI
PENUTUP
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan. Apoteker dituntut untuk aktif mengambil bagian dalam pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian sesuai dengan kompetensinya.
Untuk meningkatkan kompetensinya, apoteker diharapkan untuk selalu belajar secara terus menerus baik melalui pendidikan formal maupun non formal dan diharapkan bisa menjalin hubungan (networking) dengan apoteker yang seminat. Buku saku Pharmaceutical Care diharapkan dapat membantu apoteker dalam pemberian informasi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Aditama TG. Flu Burung di Manusia Edisi 2. UI Press. Jakarta 2006.
2.
Departemen Kesehatan, SK Menkes 1371/Menkes/ SK/IX/2005 tentang Pedoman Penanggulangan Flu Burung (Avian Influenza) Pada Manusia.
3.
World Health Organization (WHO), “WHO Current Phase of Pandemic Alert”, http://www.who.gov diakses pada tanggal 6 Januari 2007
4.
Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention, “CDC Recommends against the Use of Amantadine and Rimantadine for the Treatment or Prophylaxis of Influenza in the United States during the 2005–06 Influenza Season”, http://www.cdc.gov/flu/diakses pada tanggal 9 Agustus 2006.
5.
Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention, http://www.cdc.gov/flu/ diakses pada tanggal 30 Juni 2006
6.
World Health Organization (WHO), http://www.who.gov/guidelines for investigation of human cases of avian influenza A (H5N1),diakses pada tanggal 20 Januari 2007.
7.
Pusat Informasi Penyakit Infeksi “Flu Burung (Standar Prosedur); Prosedur Tetap Penanganan Penderita Flu Burung di RSPI – Prof Sulianti Saroso”, 2006
8.
Surat Edaran Dirjen Pengendalian Penyakiit dan Penyehataan Lingkungan tentang Definisi Kasus Flu Burung. Januari 2007
9.
Pusat Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, “3 kasus baru pasien flu burung, 2 orang meninggal” http://www.ppk.depkes.goi.id/ diakses tanggal 20 Februari 2007.
10.
Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER, Yusharmen, Purba W et al. Three Indonesian Clusters of H5N1 Virus Infection in 2005. N Engl J Med 2006; 355: 2186-2194.
11.
Kate Farthing,PharmD, BCPS, et al, Drug Facts and Comparisons, Pocket Version 2007, Wolters Kluwer Health, Missouri, USA, 2007, halaman 1054-1058.
12.
The Writing Commitee of the World Health Organization (WHO) Consultation on Human Influenza A/H5. Avian Influenza A (H5N1) Infections in Humans. N Engl J Med 2005 halaman 353, 1374-1385.
Lampiran 1
Alamat Laboratorium Rujukan Nasional :
a)
Pusat Penelitian Pengembangan ( Puslitbang) Biomedis dan Farmasi Badan Litbang Depkes :
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Telp. : (021) 4261088 Ext 134
(021) 4259860
Fax :(021) 4245389
E-mail : kp3@litbang.depkes.go.id
b)
Lembaga Eijkman, Jakarta
Jl. Diponegoro No. 69 Jakarta 10430
Telp. : (021) 3148695, 3917131 Hunting
Fax :(021) 31417982
Informasi mengenai Avian Influenza/Flu Burung bisa diperoleh di :
Telp :

(021) 4257125, 424 7573 –Posko AI depkes

(021) 70220071/73, 78830617
Situs :

www.depkes.go.id
• www.penyakit menular.info
• www.infeksi.com
Lampiran 2
Daftar Rumah Sakit Rujukan Kasus Flu Burung
Untuk perawatan penderita kasus flu burung, telah ditetapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia sebagai rujukan sesuai SK Menkes No.1371/Menkes/SK/IX/2005 yaitu :
NO
PROVINSI
NAMA RUMAH SAKIT
1.
Provinsi NAD
1
RSU Dr.Zainoel Abidin
2.
Sumatera Utara
2
RSUP H. Adam Malik Medan
3.
Sumatera Barat
3.
RSU Dr. M.Djamil Padang
4.
Riau
4.
RSU Balai Tanjung Karimun
5.
RSU Dumai
6.
RSU Tembilahan
7.
RSU Tanjung Pinang
8.
RSU Pekan Baru
9.
RSU Otorita Batam
5.
Jambi
10.
RSU Jambi
6.
Bengkulu
11.
RSUD M.Yunus
7.
Bangka Belitung
12.
RSU Tanjung Pandan
8.
Sumatera Selatan
13.
RS Dr. M.Hoesin
9.
Lampung
14.
RSU dr. Abdul Muluk Tanjung Karang
10.
Banten
15.
RSUD Kabupaten Serang
11.
DKI Jakarta
16.
RS Penyakit Infeksi DR. Sulianti Saroso
17.
RSU Persahabatan
12.
Jawa Barat
18.
RSUP Dr. Hasan Sadikin
19.
RSUD Garut
13.
Jawa Tengah
20.
RSUP Dr. Kariadi Semarang
21.
RSU H. Suwondo Kendal
22.
RSU DR. Moewardi Surakarta
23.
RSUD Banyumas
14.
Jawa Timur
24.
RS Dr. Soetomo Surabaya
25.
RSUD Dr. Subandi Jember
26.
RSUP Dr. Syaiful Anwar Malang
NO
PROVINSI
NAMA RUMAH SAKIT
15.
DI Yogyakarta
27.
RSUP Dr. Sardjito
16.
Bali
28.
RSU Sanglah Denpasar
17.
Nusa Tenggara Barat
29.
RSUD Mataram
18.
Nusa Tenggara Timur
30.
RSU Prof. W.Z Yohannes Kupang
19.
Kalimantan Barat
31.
RSUD Dr. Soedarso Pontianak
20.
Kalimantan Tengah
32.
RSU Palangkaraya
21.
Kalimantan Selatan
33.
RSUD Ulin Banjarmasin
22.
Kalimantan Timur
34.
RSUD dr. K.Jati Wibowo Balik Papan
35.
RSUD Tarakan
23.
Sulawesi Utara
36.
RSU Malalayang, Manado
24.
Gorontalo
37.
RSU Prof. Dr. H. Aloei Saboe
25.
Sulawesi Tengah
38.
RSU Prof. Undata Palu
26.
Sulawesi Selatan
39.
RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
40.
RSU Andi Makasau Pare-pare
27.
Sulawasi Tenggara
41.
RSU Kendari
28.
Maluku
42.
RSU M. Haulussy Ambon
29.
Maluku Utara
43.
RSU Ternate
30.
Papua
44.
RSU Jayapura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar