Sabtu, 30 Juni 2012

PENYAKIT PARU-PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)


PENYAKIT PARU-PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
Sharya V. Bourdet dan Dennis M. Williams


KONSEP-KONSEP POKOK

  1. Penyakit Paru-paru Obstruktif Kronik (PPOK)  adalah sebuah penyakit yang berkembang yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang masuk sehingga tidak memenuhi, terjadi secara reversibel dan bergabung bersama respon imflamasi yang tidak normal pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas.
  2. PPOK meliputi istilah bronchitis kronis dan enfisema. Bronkitis kronis didefenisikan sebagai istilah klinis, sedangkan emfisema dikaitkan dengan masalah patologi anatomi. Karena kebanyakan  pasien menunjukkan beberapa kelainan dari masing-masing penyakitnya, tampilan terbaru dari patofisiologi PPOK adalah sesak nafas, dan kerusakan parenkim yang menyebabkan pembatasan aliran udara kronis.
  3. Kematian dari PPOK telah meningkat dalam tiga dekade terakhir ini. Terakhir disebutkan sebagai sebagai pembunuh nomor empat di Amerika.
  4. Penyebab utama PPOK adalah asap rokok. Penyebab lainnya kemungkinan adalah predisposisi genetis, tekanan lingkungan ( meliputi abu limbah industri dan bahan kimia) dan juga polusi udara.
  5. Penghentian merokok merupakan strategi yang terbukti dapat memeperlambat perkembangan PPOK.
  6. Terapi Oksigen telah terbukti dapat mengurangi resiko kematian pada pasien PPOK, Oksigen terapi ditujukan pada pasien dengan Pa02 pernafasannya lebih kecil dari 55 mmHg atau Pa02 lebih kecil dari 60 mmHg dan bukti dari gagal jantung sebelah kanan, polisitemia, atau fungsi saraf tak seimbang.
  7. Bronkodilator adalah obat pilihan utama terapi PPOK. Farmakoterapinya ditujukan untuk mengurangi gejala pasien dan peningkatan kualitas hidup dari pasien. Penggunakan bronkodilator yang spesifik harus didasari atas faktor khusus pada pasien.
  8. Peranan kortikosteroid inhalasi dalam terapi PPOK tak selalu diperlukan. Pasien dengan PPOK akut dan eksaserbasi yang rutin mungkin menguntungkan bila memakai kortiosteroid inhalasi.
  9. Pengobatan eksasrbasi akut PPOK meliputi intensifikasi penggunakan bronkodilator dan kortikoteroid sistemik jangka pendek.
  10. Penggunaan antimikroba harus digunakan pada pasien PPOK yang menunnjukkan paling tidak 2 gejala : peningkatan dipsnea, penambahn volume sputum, dan penambahan virulensi sputum.

PPOK adalah penyakit saluran pernafasan  yang kronis yang ditandai dengan perkembangan yang meningkat yakni penurunan fungsi paru-paru. Prevalensi dari PPOK juga meningkat lebih dari 2 dekade terakhir ini. Saat ini PPOK dianggap sebagai pembunuh nomor empat di Amerika. Meskipun pedoman pengobatan PPOK telah dibuat bertahun-tahun yang lalu, fokusnya hanya menekankan rekomendasi semata dan tidak didasari atas bukti yang nyata.
      Agar menstandartkan perawatan terhadap pasien PPOK dan menghadirkan rekomendasi berbasis bukti, The National Heart, Lung, ang Blood Institut (NHLBI), dan WHO meluncurkan inisitif global untuk PPOK (GOLD), tahun 2001, laporan ini diperbarui Agustus 2003. Tujuan dari GOLD adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang PPOK dan menurunkan angka kesakitan dan kematian yang bergabung bersama penyakit tersebut. Kesepakatan organisasi telah dicapai yakni defenisi kerja dari PPOK :
1.      Penyakit Paru-paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah penyakit yang ditandai dengan adanya pembatasan laju aliran udara yang tak mencukupi dan bersifat reversibel. Pembatasan laju aliran biasanya, bersifat progessif dan bergabung bersama respon imflamasi yang tidak normal yang dipicu oleh partikel asing dan gas.
Kondisi paling umum yang menyertai PPOK adalah bronkitis dan emfisema. Bronkitis kronis diartikan sebagai kondisi yang kronis atau menetap dari kelebihan sekresi mukus ke dalam batang bronkial disertai batuk yang menetap selam  3 bulan dalam setahun selama paling tidak 2 tahun berturut-turut pada pasien yang batuk kronisnya telah parah. Jika bronkitis kronis didefenisikan sebagai istilah klinis, maka emfisema diartikan dalam istilah patologi anatomi. Emfisema dahulu didefenisikan sebagai pengujian autopsi dari histologi, karena defenisi dari histologi adalah nilai batasan klinis, emfisema juga diartikan sebagai perluasan jaringan udara distal yang permanen  sampai kepada terminal bronkiolus yang disertai dengan perusakan dindingnya tanpa fibrosis obvius.
2.      Aturan baru yang disepakati telah beranjak dari bronkitis kronik dan emfisema, sebagai tampilan utama bagi penderita PPOK. Hal ini didasari atas sebagian besar penyebab PPOK adalah faktor resiko yang umum (asap rokok), dan kebanyakan pasien menunjukkan gelaja baik bronkitis kronis dan emfisema . Selanjutnya, penekanan ditujukan terhadap faktor patofisiologis dari penyakit sesak nafas dan kerusakan parenkim sebagai penyumbang pembatas aliran pernafasan. Kebanyakan dari penderita PPOK menunjukkan kelainan dari kedua gejala tetsebut. Imflamasi kronis menyebabkan integritas saluran udara dan menyebabkan kerusakan serta destruksi dari struktur parenkim. . Gambaran pembatasan dari laju aliran udara ini diperlihatkan dari gambar. 27-1.

EPIDEMIOLOGI

Data dari The National Health Interview Survey tahun 2001 menunjukkan bahwa 12,1 juta orang yang berusia lebih dari 25 tahun di USA terkena PPOK. Lebih dari 9 juta orang ini menderita Bronkitis kronis, sisanya mengalami emfisema atau  kombinasi keduanya. Akantetapi, bukti dari perkiraan ini adalah lemah. Menurut survey nasional , prevalensi yang sesungguhnya dari gejala ini mungkin mencapai 24 juta orang.
3.      PPOK menempati urutan keempat dari penyakit pembunuh di Amerika yng menempati posisi setelah penyakit kanker, penyakit jantung dan kejadian serebrovaskular. Di tahun 2000 lebih dari 119.000 meninggal di USA dan sekitar 2,74 juta orang totalnya diseluruh dunia yang mengalami PPOK. Data ini merupakan data gabungan setelah 30 tahun terakhir dan menunjukkan tingkat kematian yang hebat, sehingga diproyeksikan pada tahun 2020 akan menempati posisi ketiga sebagai penyebab kematian. Kenyataan sebagian besar dari penderitanya adalah kaum pria, akantetapi, kaum wanita telah meningkat jumlahnya sebanyak 2 kali lipat selama 25 tahun terakhir. Dan kematian wanita akibat penyakit ini melampaui jumlah kematian pria di tahun 2000. Rataan kematian juga menunjukkan peningkatan pada kulit putih dibandingkan dengan kulit hitam.
Asap rokok adalah penyebab utama dari PPOK, dan meskipun prevalensi dari asap rokok telah menurun dibandingkan dengan tahun 1965, kira-kira 25 % individu di Anerika saat ini merokok. Kecenderungan peningkatan kematian akibat PPOK menunjukkan waktu yang berangsur-angsur yakni mulai dari timbulnya gejala sampai kepada akibat yang nyata dari komplikasi PPOK.
Kematian akibat dari PPOK adalah cukup signifikan, akan tetapi, angka kesakitan yang bergabung bersama penyakit mempunyai dampak yang signifikan terhadap pasien, keluarganya serta gaya sistem kesehatanya. PPOK menampilkan penyebab tidak produktifnya hidup seseorang di Amerika pada urutan kedua. Orang dengan PPOK biasa menmpati rumah sakit 2 kali lebih sering dibanding orang normal, aktivitas harian yang terbatas, dan gangguan tidur dibandingkan dengan orang normal tanpa PPOK. Di Tahun 2000, terdapat lebih dari 15 juta tempat praktek dokter, 1,5 juta ruang gawat darurat, dan 726.000 rumah sakit yang berhubungan dengan PPOK. Dibandingkan dengan data ini, maka terdapat kemungkinan ini akan terus meningkat.
Menurut NHLBI, dampak ekonomi dari PPOK mencapai 23 billiun dolar US tahun 2000 dan 32 billiun US dollar tahun 2002, meliputi 18 billiun dolar USA untuk kos langsung. Jumlah ini diperkirakan pada 2020 akan merupakan penyakit kelima dengan biaya paling tinggi karena ketidakmampuan dan kesakitan.

ETIOLOGI

  Asap rokok adalah faktor utama yang menyebabkan peningkatan resiko PPOK, akantetapi, penyakit tersebut akan digolongkan kedalam penyakit kombinasi yang saling menyebabkan resiko dan menghasilkan kerusakan paru-paru dan destruksi jaringan.
Faktor resiko ini bergabung bersama dan meningkatkan resiko PPOK, yang dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu faktor perumah dan faktor lingkungan. ( Tabel 27-1), dan umumnya gabungan dari faktor tersebut akan memperparah dari perkembangan penyakit. Faktor perumah , seperti predisposisi genetis, mungkin tak bisa berubah ,tapi adalah penting untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi dari perkemnagan penyakit ini. Faktor lingkungan, seperti asap tembakau dan abu serta limbah sisa pekerjaan adalah faktor yang dapt ditanggulangi, sehingga pengurannya dapat menurunkan resiko penyakit.
      Tekanan lingkungan bergabung bersama PPOK adalah partikel yang terhirup oleh sesorang dan menyebabkan imflamasi dari sel pernafasan. Pengaruh dari toksin lingkungan juga akan memperparah  dan meningkatkan resiko PPOK. Seperti contoh kasus, hal ni akan membantu untuk memperkirakan total individu yang lain yang berisiko terhirup partikel asing. Sebagai contoh, seorang individu yang merokok dan bekerja di pabrik tekstil mempunyai jumlah total paertikel terhirup lebih banyak daripada orang yang hanya merokok atau bekerja di daerah aman.
4.      Asap rokok merupakan faktor resiko paling utama di negara industri, dan menempati jumlah 85 %-90% dari kasus PPOK. Komponen aktif dari tembakau akan mengaktivasi sel imflamatori yang akan menghasilkan serta melepaskan mediator imflamsi yang akan memicu PPOK. Meskipun resiko lebih rendah dengan merokok memakai pipa dan filter akan tetapi masih lebih rendah lagi bila tidak merokok. Usia awal, jumlah bungkus/tahun , dan status merokok akan menentukan prediksi kematian akibat PPOK. Akan tetapi berkisar 15-20 % perokok yang mungkin mengidap PPOK, dan tidak semua perokok memiliki  kesamaan resiko merokok, tentu memyebabkan resiko yang tidak  sama pula dalam hal kerusakan paru-paru. Saran bahwa faktor perumah serta faktor lingkungan sama-sama berpengaruh dalam menyebabkan penyakit ini. Meskipun, rataan kehilangan fungsi paru-paru pertama kali ditentukan oleh status perokok dan sejarahnya. Anak dan Balita juga akan memiliki resiko yang tinggi dari kerusakan paru-paru akibat merokok pasif, seperti dikenal sebagai asap rokok lingkungan atau merokok pasif.
Pengaruh pekerjaan juga akan penting dalam menyebabkan resiko PPOK, di negara bukan industri, akan lebih umum daripada asap rokok. Limbah ini meliputi debu dan kimia seperti aromatikum, iritan dan gas beracun. Penurunan fungsi paru-paru serta peningkatan resiko  PPOK akan Sangay tinggi pada daerah tambang emas dan batubara, di industri gelas silika dengan abu silikanya, di daerah textil , pabrik toquen diisocyanat, atau asbestos. Factor kerjaan  yang lain adalah memasak dengan oven suhu tinggi atau api membara.
Belum ada kejelasan apakah factor uadar maupun factor polusi udara saja dapat meningkatkan resiko dari PPOK bagi perokok dan bukan perokok dengan fungsi paru-paru normal. Akantetapi, orang yang dengan kerusakan paru-paru menetap, cuaca yang buruk akan memperburuk gejalanya. Sebagai bukti departemen gawat darurat meningkat ketika masa peningkatan polusi udara.
            Individu yang terpapar dengan lingkungan yang sama tidak memiliki resiko gejala yang sama pula dalam perkembangan PPOK, disarankan bahw factor perumah mempunyai pengaruh yang besar dalam hal ini.Walaupun Belem banyak factor gen yang berpengaruh terhadap perkembangan PPOK, tetapi telah dikenali factor genetik yang diturunkan adalah defisiensi  α1-antitripsin ( AAT), AAT-yang berasosiasi dengan enfisema sebagai contoh adalah factor yang murni genetis yang diturunkan melaui sistem kromoson yang resesif. Pengaruh kurangnya AAT didiskusikan di sesion patofisiologi dalam ketidakseimbangan  protease –antiprotease . Kekurangan AAT yang memicu PPOK hanya terjadi 1 % kasus.
            AAT merupakan sebuah protein plasma yang yang melindungi sel terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh elastase yang dilepaskan oleh neutrofil. Dalam individu dengan kebanyakan Alela (M), level plasma dari AAT Kira-kira 30 mikromolar (150mg/dl). Efek penurunan fungsi dari AAT akan terlihat ketika kadar serum adalah lebih kecil dari 10 mikromolar. AAT merupaka sebuah pase akut yang reaktandan konsentrasi serum mungkun bervariasi. Kisaran nilainnya dalah  80-200 mg/dl (16-40 mikromolar).
            Beberapa tipe dari defesiensi dari AAT telah diketahui yakni adanya mutasi dari gennya.Dua gen utamanya yaitu S dan Z, telah didentifikasi . Pasien homozigot dengan variant S, AAT level berada pada kurang dari  60 % dari orang normal. Pasien ini biasanya tidak memiliki resiko peningkatan terhadap PPOK dibandingkan dengan orang normal. Pasien homozigot Z defisiensi (ZZ), memiliki AAT 10% lebih dari orang normal, sedangkan pasien heterozigot Z variant (SZ) mempunyai level lebih dekat 40% dari individu normal. Homozigot Z mempunyai resiko tinggi menderita PPOK dibandingkan dengan yang heterozigot. Sejarah merokok meningkatkan resiko ini.Sekelompok pasien  null , null fenotif, dan merupakan yang tinggi kemungkinan emfisema karena mereka kurang memproduksi AAT.
            Pasien dengan defisensi AAT  akan meningkatkan PPOK pada usia muda ( 20 -40 tahun) terutama dalam hal penurunan fungsi paru-paru-paru-paru. Dibandingkan dengan rata-rata penurunan dalam kekuatan volume pernafasan  permenit (FEV1) dari 25 mL/ tahun, bagi kesehatan orang  yang tak merokok, pasien dengan defisiensi Z homozigot telah dilaporkan memiliki penurunan 54ml/tahun nonperokok sedangkan 108 mL/tahun bagi perokok awal. Pasien yang meningkat resiko PPOKnya adalah yang berusia muda dan dejarah keluarga yang menderita PPOK serta diduga kekurangan AAT.
            Dua faktor tambahan yang mempangaruhi faktor perumah dalam menyebabkan PPOK adalah hiper responsif dari saluran nafas dan perkembangan paru-paru-paru-paru. Orang dengan kelainan tersebut akan menurunkan fungsi paru-parunya dibandingkan dengan yang tidak. Lagipula, orang yang perkembangan paru-paru-paru-parunya tidak baik seperti bayi prematur, bayi kurang bobot, bayi yang sakit-sakitan akan beresiko PPOK dimasa depannya.

PATOFISIOLOGI

PPOK ditandai dengan perubahan imflamasi kronik yang menambah destruksi danmeningkatkan batasan aliran udara yang masuk secara kronis. Prosesnya berkembang tak hanya pada saluran udara saja melainkan pada vaskulatura jantung dan parenkim paru-paru. Imflamasi pada PPOK tergantung pada aktivitas neutrofil alami, tapi makrifag dan CD8+ limfosit juga memainkan peranan yang besar. Sel imflamtori melepaskan beragam mediator kimia, seperti TNFα, interleukin 8 (IL-8), dan leukotrien B4 memainkan peranan besar. Aksinya sangat luas dalam PPOK. Perangsang lepasnya mediator tersebut yakni partikel asing dan gas yang terhirup. Faktor etiologi yang paling utama adalah asap rokok walaupun faktor yang lain juga.
            Proses lain yang memainkan peranan penting adalah stres oksidatif dan tak seimbangnya antara serangan dan pertahanan sistem paru-paru-paru-paru. Proses ini akan memicu imflamasi yang diawali oleh partikel-partikel asing.
               Interaksi antara oksidan dan antioksidan terlihat pada kepekan saluran nafas untuk meningkatkan kehadiran stress oksidatif dalam PPOK, Peningkatan produksinya antara lain H2O2, dan NO, oksidant pada cairan atas epitel. Peningkatan oksidant dipicu oleh asap rokok yang bereaksi dengan kerusakan protein dan lipid, mendorong kerusakan jaringan dan sel.oksidant juga secara langsung mempengaruhi imflamasi dan ketidakseimbangan antara aktivitas protease-antiprotease.
               Akibat dari ketidakseimbangan ini pada paru-paru-paru-paru duketahui lebih dari 40 tahun yang lalu, ketika ditemukan suatu faktor turunan yakni AAT yang pada saaat itu meningkatkan resiko emfisema, Enzim AAT ini bertanggungjawab terhadap hambatan terhadap enzim protease termasuk neutrofil elastase. Dengan hadirnya aktivitas rangsangan maka elastase akan menyerang   elastin, komponenterbesar dalam dinding alveoli.
               Dalam kaitannya dengan emfisema, terdapat kekurangan yang mutlak dari AAT, Pada asap rokok yang berasosiasi dengan emfisema, ketidakseimbangan akan bergabung dan meningkatkan aktivitas protease serta akan menurunkan aktivitas antiprotease. Aktivasi sel imflamatori akan mengeluarkan senyawa kimia selain daripada AAT, meliputi katepsin dan Metaloproteinase (MMPs), juga, oksidatif stress mengurangi aktivitas proteksi.
               Sangat membantu bagi kita apabila dapat membedakan antara imflamasi yang disebabkan oleh PPOK dan yang disebabkan dalam asma, karena respon terhadap terapi antiimflamasinya juga berbeda. Proses imflamsi yang membedakan dua proses tersebut di atas adalah sel imflamsinya, neutrofil memainkan peranan dalam PPOK, sedang eosinofil  dan sel sel mast dalam asma. Mediator imflamsinya juga beda yaitu LTD-4, IL-8,dan TNF-alfa pada PPOK, sedangkan pada asma sejumlah besar mediator imflamasi. Dapat lihat tabel 27-2.
               Perubahan patologis pada PPOK jauh berkembang, mempengaruhi saluran pernafasan kecil dan besar, parenkim paru-paru-paru-paru, dan vasculatur paru-paru-paru-paru. Cairan imflamsi biasanya ada untuk menambah jumlah dan ukuran sel goblet, dan kelenjar mukus. Sekresi mukus ditingkatkan, dan motilitas silia tidak berimbang. Ada juga pengerasan otot lunak dan jaringan konektif pada saluran nafas.imflamasi terjadi di tengah dan tepi saluran udara.
               Perubahan parenkim mengakibatkan unit pertukaran gas pada paru-paru, meliputi alveoli dan kapiler paru-paru. Penyebaran daripada kerusakan tergantung pada etiologinya. Yang paling umum adalah penyakit yang berhubungan dengan asap pada emfisema centrilobular yang pengaruh utamanya pada pernafasan bronkiolus. Panlobular emfisema trlihat pada defisiensi AAT dan meluas terhadap alveolar duct serta sack.
               Perubahan vaskular pada PPOK meliputi pengerasan pada pembuluh paru-paru dan biasa tampak pada awal penyakit. Perubahan ini akan menunjukkan imflamsi kronis, atau mungkin akan menyebabkan disfungsi endotelial pada arteri pulmonalis.Lalu, perubahan struktur ini akan meningkatkan tekanan pulmonalis, khususnya selama olah raga. Pada PPOK akut hipertensi paru sekunder memicu perkembangan gagal jantung sébelah kanan.
               Hipersekresi mucus juga akan bertambah. Dengan adanya imflamsi maka batasan udara masuk dapat bersifat reversible atau irreversible. Berbagai pengaruh kerusakan aliran udara dapat dilihat  pada tabel 27-3.
               Pembatasan terhadap aliran udara yang masuk melalui spirometer, yang menunjukkan Standard emas, untuk diagnosa dan monitoring PPOK. Hallmark PPOK adalah penurunan dari ratio FEV1 untuk menyokong kapasitas Vital  (FVC) sampai kurang dari 70%. FEV1 umumnya berkurang, kecuali pada penyakit yang ringan, dan rataan dari  FEV1 biasanya berkurang sangat besar pada penderita PPOK dibandingkan dengan pasien normal.
               Akibat dari sejumlah perubahan patologis dari paru-paru yakni pertukaran gas dan fungsi pertahanan paru-paru. Akhirnya, inilah gejala yang umum dari PPOK meliputi dipsneae, dan batuk kronis yang produktif dengan sputum. Sebagai penyakit yang berkembang maka ketidaknormalan terhadap pertukaran gas akan memicu hipoxemia dan hiperkapnea, meskipun tak ada hubungan yang kuat antara fungsi paru-paru dan gas arteri darah.
               Perubahan yang significant terhadap gas darah arteri biasanya tidak menunjukkan sampai FEV1 sampai kurang dari 1L. Pada pasien ini, hipoksemia dan hiperkapnea dapat menjadi masalah yang kronis. Dasarnya, ketika terjadi hipoxemia, terjadi karena latihan berat. Akantetapi, sebagai penyakit progressif maka hipoksemia terus berkembang pada saat istirahat. Pasien dengan PPOK yang akut dalm mengalami tensi oksigen arteri 45-60 mmHg. Hipoksemia ini ditunjukkan oleh hipoventilasi (V) dari jaringan relatif paru-paru terhadap perfusi (Q) dari daerah. Rasio V/Q yang rendah ini, kan terus berkembang beberapa tahun kemudian, menghasilkan penurunan yang menetap pada PaO2. beberapa pasien COPD, kehilangan kemampuan untuk bernafas secara dalam dalam merespon hipoxeia. Walaupun tak sepenuhnya dipahami, mungkin penurunan ini disebabkan oleh penurunan respon reseptor pernafasan pusat maupun tepi. Hipoventilasi yang relatif ini pada akhirnya akan memicu hiperkapnia. Pada kasus ini respon pernafasan pusat meningkatkan Pa CO2 secara kronis. Hal ini akan merubah PaO2 dan PaCO2 menjadi tak lazim untuk bertahun-tahun. Alhasil Ph yang dihasilkan akan mendekati normal karena ginjal melakukan kompensasi dengan menahan bikarbonat. Jika distress pernafasan akut meningkat seperti terlihat pada pneumonia.atau eksaserbasi PPOK, disertai juga dengan kegagalan pernafasan, Pa CO2 mungkin akan meningkat dengan tajam. Dan pasien mengalami asidosis pernafasan.
               Akibat daripada jangka panjang PPOK danjuga hipoxeia yang kronik meliputi peningkatan hipertensi sekunder paru-paru yang terus berkembang apabila penangan tidak dilakukan.. hipertensi paru-paru adalah komplikasi kardiovaskuler yang paling umum dengan PPOK, menghasilkan core pulmonal dan gagal jantung sebelah kanan.
               Peningkatan tahanan arteri ditandai dengan vasokonstriksi , pembentukan kembali vaskular, atau kehilangan kapilaritas paru saat tidur. Jika peningkatan tahanan paru-paru terus menerus maka, cor pulmonal mungkin meningkat , ditandai dengan hipertropi ventrikel kanan dalam pengaruhnya terhadap tahanan vaskular paru-paru.
   Resiko cor pulmonal antara lain venous statis dengan trombosis potensial dan emboli paru-paru. Pengaruh sistemik dari PPOK adalah kehilangan massa otot rangka penurunan status kesehatan secara umum.

PATOFISIOLOGI EKSASERBASI

Sejarah alami dari PPOK ditandai dengan eksaserbasi awal bersana dengan peningkatan gejala dan penurunan keseluruhan status kesehatan. Karena kebanyakan pasien mengalami gejala kronis, diagnosa dari eksaserbasi didasari atas perbagian, ukuran pribadi dan pertimbangan klinis. Sebuah defenisi kerja dari eksaserbasi PPOK adalah kejadian buruk yang berkelanjutan terhadap kondisi pasien dari keadaan stabil dan dibawah normal hari ke hari yang berubah yang akut pada permulaan, dan pentingnya perubahan pada pengobatan yang biasa.
               Data terbatas mengenai patologi selama eksaserbasi pada kondisi pasien, akantetapi, mediator-mediator imflamsi meliputi neutrofil dan eosinofil, akan meningkatkan sputum. Perubahan utama yang terjadi selama periode ini adalah gas arteri darah dan penurunan daya respirasi yang pada akhirnya akan menyebabkkan hipoksemia dan hiperkapnia yang bersam dengan kegagalan pernafasan dan peristiwa asidosis pernafasan.

PENAMPILAN  KLINIS   

Diagnosa PPOK dibuat berdasarkan dari gejal yang diidap dari pasiennya, seperti batuk, produksi sputum, dan dypsnea, penyebab yang paling umm seperti asap rokok juga, sisa material pekerjaan. Pasien dapat juga mengalami gejala ini selama bertahun-tahun sebelum gejala dypneanya meningkat.dan biasanya tak mengunjungi dokter sampai dypneanya menjadi parah. Gambaran-gambaran umum tercatat pada kesimpulan pada tabel 27-4.
               Kehadiran pembatasan aliran udara pernafasan harus diperiksa dengan spirometer. Spirometer memberikan gambaran yang jelas mengenai perkiraan volume dan kapsitas paru-paru. Hallmark dari PPOK adalah ratio dari FEV1/ FVC lebih rendah dari 70 % yang menandakan adanya kerusakan jaringan.Dan post bronkodilator FEV1 kurang dari 80% yang menunjukkan adanya pembatasan aliran yang bersifat tak reversibel. Dibuktikan bahwa  FEV1 kurang dari 12 % diikuti oleh inhalasi bronkodilator kerja cepat dapat dianggap sebagai bukti kerusakan aliran yang brsifat irreversibel. Reversibilitas dari pembatasan laju aliran udara dapat diukur dengan tantangan bronkodilator yang ditunjukan oleh tabel 27-5. Guna dari puncak aliran pernafasan tidaklah mencukupi untuk menegakkan diagnosa dari PPOK yang tidak spesifik. Penggunaan spirometer dapat dilihat pada Bab 25.

               Spirometer juga digunakan untuk menetukan keparahan dari penyakit, sepanjang dengan gejala yang diperkirakan serta hadirnya berbagai komplikasi. Saat ini, kesepakatan pedoman GOLD menyarankan sebanyak lima langkah dalam sistem klasifikasi bagi penderita PPOK. ( tabel 27-6).
               Pasien dengan resiko ( tahap 0) memiliki spirometer yang normal tetapi, pengalaman dengan gejala yang batuk dengan produksi sputum serta resiko terhadap terpapar terhadap bahan-bahan sisa yang berisiko. Sisa selanjutnya didasarkan atas klasifikasi dari hasil test spirometernya, yang menunjukkan terhadap pembatasan laju aliran contohnya: pengurangan terhadap ratio  FEV1/ FVC yang kurang dari 70%. FVC adalah total dari jumlah dari yang dikeluarkan setelah inhalasi maksimal. Meluasnya pengurangan dari FEV1 selanjutnya memasukkan pasien dalam kategori ringan, sedang atau akut dan sangat akut.
   Kebanyakkan pasien dengan gejala lebih ringan dari PPOK akan mempunyai aktivitas fisik yang nornal. Pada perkembangan selanjutnya, ketika mengalami pembatasan laju aliran udara barulah timbul cyanosis pada membran mukosa., berkembang ke daerah ” barrel chest” terjadi hiperinflasi dari paru-paru. Sebuah peningkatan laju pernafasan dan perubahan dalam mekanisme pernafasan, seperti merapatkan bibir untuk membantu respirasi atau dengan bantuan otot pernafasan.

PROGNOSIS

Rata-rata laju penurunan FEV1 adalah ukuran sasaran yang berguna untuk memperkirakan tingkat PPOK. Laju penurunan rata-rata dari FEV1 untuk  orang sehat, dan tak merokok adalah 25-30 ml/tahun. Rata-rata penurunan  untuk perokok adalah lebih besar, apabila dibandingkan antara perokok berat dengan perokok ringan.Semakin lama periode seseorang dalam menghisap rokok maka semakin tinggilah penurunan fungsi paru-parunya. Sebaliknya jumlah gas dalam darah tak dapat digunakan untuk memperkirakan perkembangan penyakit. Pasien PPOK harus menjalani test spirometer secara berkala agar mengetahui perkembangan penyakitnya.
   Rata-rata tetap pasien dengan PPOK berhubungan erat dengan tahap awal dari ketidakseimbangan FEV1 dan usianya. Faktor lain yang agak penting adalah reversibilitas dengan menggunakan bronkodilator, pulsa isterahat, kemampuan beraktivitas fisik,  DLCO,, Cor pulmonal, dan ketidaknormalan gas dalam darah. Penurunan yang cepat dari tes fungsi paru-paru menunjukkan prognosis yang lemah.
               Apabila pengukuran gas darah penting, mereka tak membawa nilai prognosis ke dalam test fungsi paru.Pengukuran ini terutama berguna bagi mereka dengan kondisi yang akut dan direkomendasikan untuk untuk semua pasien dengan nilai FEV1 kurang dari 40% dengan prediksi tersebut ditandai dengan kegagalan pernafasan dan gagal jantung sebelah kanan.

PENAMPILAN KLINIS DARI EKSASERBASI PPOK

Karena subjektif  alamiah dari pendefenisian eksaserbasi PPOK, kriteria yang dipakai dari berbagai klinisis juga berbeda, akantetapi, ada hal yang merupakan kesamaan dari hal tersebut adalah ; gejala dypsnea, peningkatan volume sputum, atau peningkatan virulensi sputum. Tampilan yang umum dari hal ini diperlihatkan pada tabel 27-7. Pasien dengan bronkodilator aksi cepat kemungkinan melaporkan peningkatan penggunaanya. Eksaserbasi umumnya dikelaskan dalam kondisi ringan, sedang, atau akut tergantung kriteri pada tabel.27-8.
               Komplikasi yang kurang penting dari eksaserbasi akut adalah kegagalan pernafasan. Di ruang gawat darurat rumah sakit, ABG biasaanya diperoleh untuk memperkirakan keparahan eksaserbasi. Diagnosa dari keparahan gagal pernafasan didasari atas perubahan akut dari ABG. Mengartikan gagal pernafasan akut adalah sebagai PaO2 yang kurang dari 50 mmHg atau PaCO2 yang lebih dari 50 mmHg biasanya tidak benar atau tak mencukupi karena nilai ini mungkin tidak mewakili perubahan yang signifikan dari  nilai dasar si pasien. Kemudian manifestasi kegagalan pernafasan meliputi  pengurangan masa resting, bingung, takikardia, diaporesis, cyanosis, hipotensi, bernafas tak teratur, miosis, dan tak sadarkan diri.

PROGNOSIS

Eksaserbasi PPOK  mempunyai pengaruh kesakitan dan kematian yang tinggi. Sedangkan eksaserbasi ringan dapat ditangani di rumah, rata-rata kematian adalah tinggi terjadi di rumah sakit. Dalam suatu studi yang dilakukan di suatu rumah sakit rentang kematian sekitar 6-8% yang setahun kemudian menungkat menjadi 23-35% setahun setelah ditutup. Banyak ppasien yang mengalami bahwa gejala yang mereka lami tidak kembali selama beberpa minggu dantentu saja mempengaruhi hidup mereka, akantetapi banyak juga yang harus menginap selama periode 6 bulan.

PENGOBATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Memberikan gambaran alami PPOK, fokus utamanya terletak pada pencegahan. Akantetapi, pasien dengan diagnosis PPOK, tujuan utamanya adalah pencegahan serta meminimalkan peningkatan penyakit. Tujuan khusus dari terapi PPOk dilihat pada Tabel 27.9.
            Optimalnya, tuuan ini dapat dilakukan dengan efek samping minimal. Terapi pada pasien dengan PPOK adalah kompleks dan meliputi terapi farmakologis dan non Farmakologis. Alat ukur yang utama dari perencanan sistem manajemen yang efektif meliputi pengurangan konsumsi rokok, perkembangan gejala, penurunan reduksi FEV1, reduksi eksaserbasi, meningkatkan aktivitas fisik dan psikis pasien, reduksi kematian dan kesakitan serta peningkatan aktivitas kerja.
            Sangat disayangkan sekali, kebanyakan pengobatan dari PPOK, tak menunjukkan banyak perkembangan atau menunjukan perkembangan yang lamban dari peningkatan fungsi paru-paru. Akan tetapi banyak terapi yang dapat meningkatkan fungsi paru-paru, meningkatkan kualitas hidup serta pengurangan kunjungan dokter. Beberapa terapi yang memberikan efikasi yang cukup baik adalah Chronic Respiratory Quesstionnaire (CRQ) dan St George’s  Respiratory Quesstionnaire (SGRQ).
Questioner ini mengukur dampak dari berbagai macam terapi, seperti variabel penyakit seperti keparahan dari dypsneae, dan level aktivitas, mereka tidak mengukur kekuatan terapi. Sedangkan studi terbaru mengenai  terapi PPOK, berfokus pada peningkatn pengukuran fungsi paru-paru seperti FEV1, ada semacam kecendrungan terhadap peningkatn kualitas hidup yang dapat terukur dari terapi ini sehingga dapat dievaluasi  dan menguntungkan dalam terapi klinis secara luas.

PENDEKATAN UMUM UNTUK PENGOBATAN

Agar efektif maka para dokter harus menempatkan empat komponen manajemen yang utama  ; Perakiran dan monitoring kondisi, meminimalkan dari papran berbaga faktor predisposisi,  mengatur stabilitas penyakit dan mengobati eksaserbasi. Komponen inilah yang harus dituju baik terapi secara farmakologis dan non farmakologis.

TERAPI NON FARMAKOLOGIS

Penderita yang menderita PPOK, haruslah mendapatkan pendidikan mengenai penyakit mereka, rencana pengobatan strategi pencegahan komplikasi serta memperlambat perkembangan penyakit. Nasehat serta konsultasi mengenai penghentian rokok sangatlah penting, jika dapat terlakana. Karena secara alami penyakit tersebut akan menyebabkan kegagalan pernafasan. Para dokter haruslah memberikan pandangan tentang hidup yang berarti serta apa manfaatnya bagi diri dan keluarga

PENGHENTIAN ROKOK

            5. Komponen utama dari terapi PPOK adalah untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang mempertinggi resiko. Paparan asap dari rokok dan lingkungan merupakan faktor resiko utama. Dan berhenti merokok adalah salah satu cara mengurngi resiko serta memperlambat perkembangan penyakit. Efektivitas biaya dari penghentian merokok dalah lebih besar ketimbag menderita berbagai penyakit kronis. Pentingnya penghentian rokok memang tidak bisa terlalu ditekankan. Penghentian merokok menunjang pengurngan simtomtologi, dan me,perlmbt laju peruskan fungsi paru-paru bahkan, setelah ketidak normalan  dalam test fungsi paru-parunya. Setelah dikonfirmasi dengan Lung Health Study, penghentian merokok terbukti sat ini dapat menurunkan FEV1 dalam jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK. Pada polafikir pengobatan 5 tahun terakhir, perokok dengan PPOK tahap awal, secara cak dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kelompok  yaitu :  berhenti merokok dengan bantuan ipatropium bromide, berhenti merokok sendiri, atau tanpa intervensi.Perokok yang berhenti merokok karena intervensi mengalami gejala demam pernafasan dan penuruna FEV1 tahunan lebih kecil dibandingkan dengan orang yang berhenti merokok tanpa intervensi. Akantetapi, penelitian ini memiliki kesukaran untuk pemntauan secara kontinu.
            Setiap ahli klinis bertanggung jawab terhadap perokok yng ingin melakukan penghentian rokok. Panduan praktek klinis untuk penghentian tembakau terdapat dalam US Public Health Service yang diperbarui tahun 2000. Temuan serta rekomendasi utama dapat dilihat pada tabel 27-10. Tahun 2004, sebuah laporan menyebutkan bahwa,begitu banyak kerugian organ dari merokok.
            Semua klinisis harus harus bertaanggung jawab dalam hal pengurangan pemakaian rokok agar meningkatkan arti hidup terhadap diri maupun keluarganya, atau system kesehatan. Ada sebuah perkiran adad sejumlah 75% perokok ingin berhenti dan dari mereka terdapat sepertiga yang melakukan usaha yang serius. Usah untuk penghentian total thd tembakau memang sulit, Konsultasi terhadap para ahli serta keinginan kuat dalam diri akan membantu.
            Pedoman PHS merekomendasikan bahwa klinisis mengambil pendekatan yang menyeluruh terhadap konsultasi penghentian rokok. Nasehat haruslah diberikan kepada perokok supaya mereka sadar betapa membantunya penghentian rokok terhadap pengurangan gejala penyakit mereka. Klinisis mesti tegar dengan usaha mereka karena mengulangi merokok lagi adalah kejadian yang umum bagi mereka. Intervensi yang berani selama 3 menit terbukti efektif. Akantetapi, harus pula diketahui bahwa si pasien berhenti merokok setelah adanya beberapa tahapan. Berdasarkan hal ini terdapat pula lima tahapan dalam program yang mengintervensi (tabel 27-11).
            Ada bukti yang kuat untuk mendukung penggunaan  farmakoterapi untuk perkiran penghentian merokok ketika konsultasi sendiri tidak efektif.. zat-zat yang utama dipakai antara lain terdaftar dalam tabel 27-12. Penyebab untuk mempertimbangkan sebelum memakai bupropion meliputi sejarah seizure atau gangguan makan. Penggunaan nikotin replacement akan kontraindikasi terhadap pasien dengan penyakit arteri koronaria, peptic ulcer dan MI atau stroke. Nikotin temple , bupropion dan kombinasi bupropion dan nikotion temple, dibandingkan dengan control dengan placebo. Pada hasilnya pasien dengan bupropion menghentikan rokok lebih tinggi daripada plaebo dan nikotin temple.Kombinasi bupropion dan nikotin temple juga akan meningkatkan persentase tingkat pengurangan rokok. Terapi baris kedua adalah klonidin dan nortriptilin, anti depresan trisiklik.
            Teknik modifikasi kebiasan atau model psikoterapi yang lain mugkin dapat pula membantu penghentian rokok ini. Program dengan tujuan lingkungan yang disertai dengan hubungaya dengan rokok misalnya, kebiasaan, lingkungan dan ketergantungan kimia merupakan contoh pendekatan yang biasnya berhasil.
Peranan obat-obatan alternatif dalam pengobatan berhenti merokok masih kontroversi. Hipnotika dianggap tak memberikan hasil yang baik pda penghentian rokok tetapi dianggap sidikit berguna apabila dipakai terpisah.

REHABILITASI PARU-PARU

Latihan aerobic dianggap baik pada pengobatan PPOK dan meningkatkan toleransi latihan dan mengurangi gejala dypsnea dan juga kelelahan. Program rehabilitasi paru-paru, adalah komponent yang integral dalam manajemen PPOK, dan mesti digabung dengan latihan selama periode penghentian rokok, latihan pernafasan, pengobatan medis yng optimal, dukungan psikologis dan pengetahuan kesehatan. Latihan dengan intensitas yang tinggi dimungkinkan bagi pasien dengan PPOK yang berkembang, tingkatan intensitas ini akan meningkatkan fungsi otot perifer dan pernafasan. Studi tentang ini telah dilkukan dengan exersais sebanyak 3-7 kali perminggu menghasilkan penambahan kapasitas kerja harian, kualitas hidup, toleransi terhadap latihan pada pasien dengan gejala sedang sampai akut. Progran tak intensif tidak memberikan hasil yang menguntungkan.

IMMUNISASI

Vaksin dianggap sebagai agen farmakologis. Tetapi, perannya disini adalah mengurangi faktor resiko eksaserbasi PPOK. Karena flu dapat memicu aksaserbasi dan gagal pernafasan, maka vaksin dianjurkan untuk itu. Imunisasi influenza dapat mengurangi penyakit serius dan angka kematian sampai pada 50% penderita. Vaksin influensa harus diberikan pada akhir tahun yakni Oktober dan November selama kunjungan rutin kesehatan atau pada saat vaksinasi klinis. Ada pengecualian terhadap pasien pada pemberian vaksin ini yakni bagi pasien yang alergi terhadap telur. Obat flu oral seperti amantadine, rimantadin, dan oseltamivir, dapat juga dipakai pada pasien PPOK yang belum menerima imunisasi. Tetapi, terapi ini minim manfaat dan berisiko tinggi.
            Vaksin Pneumococcus polivalent, diberikan  sekali , secara luas digunakan untuk orang berusia 2-64 tahun yang mempunyai yang mempunyai penyakit paru-paru.  
Vaksin-vaksin dapat berupa agen-agen pharmacologic yang mempunyai  peran diuraikan di sini di dalam memperkecil risiko faktor-faktor untuk eksaserbas COPD . Sebab influensa adalah satu kesulitan umum di dalam COPD yang dapat mendorong eksaserbasi dan kegagalan pernapasan, satu vaksinasi tahunan dengan vaksin influensa secara i.m.direkomendasikan.
Imuniasi melawan terhadap influensa dapat mengurangi kematian dan penyakit serius oleh 50% di dalam pasien COPD .Vaksin influensa harus diatur di dalam kejatuhan masing-masing tahun (November dan Oktober) selama kunjungan-kunjungan regular medis atau pada klinik-klinik vaksinasi. Ada sedikit contraindications sampai vaksin influensa kecuali satu pasien dengan satu alergi serius sampai pasti benar. anti agen-agen influensa Oral (e.g., amantadine, rimantadine, dan oseltamivir) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien dengan COPD selama satu perjangkitan untuk pasien-pasien yang belum diimunisasi; bagaimanapun, terapi ini adalah lebih sedikit efektif dan menyebabkan lebih banyak efek sampingnya. Vaksin oral polyvalent pneumococcal, yang diatur sekali, dapat secara luas direkomendasikan untuk orang-orang dari 2 sampai 64 tahun usia yang sudah punya penyakit paru-paru kronis dan untuk semua orang-orang lebih tua dari 65 tahun. Dengan begitu pasien-pasien COPD pada usia manapun adalah calon-calon untuk vaksinasi. Walaupun bukti demi kepentingan pneumococcal vaksin di dalam COPD adalah belum kuat, argumentasi untuk penggunaan yang dilanjutkan adalah bahwa vaksin yang ada menyediakan pemenuhan selama 85% dari pneumococcal supressi yang menyebabkan yang serangan penyakit dan meningkatkan tingkat kekabuhan dari pneumococcus sampai antibiotik yang terpilih . Sekarang ini, mengatur vaksin praktik standar dan direkomendasikan oleh Pusat Association untuk Pengendalikan dan Pencegahan Penyakit dan Paru-Paru Amerika. vaksinasi Yang diulangi dengan 23-valent produk adalah tidak direkomendasikan karena pasien-pasien tua 2 sampai 64 tahun dengan penyakit paru-paru kronis; bagaimanapun, apakah direkomendasikan untuk pasien-pasien diatas usia 65 tahun jika vaksinasi pertama lebih dari 5 tahun lebih awal dan pasien adalah
lebih muda dibanding usia 65.

TERAPI OKSIGEN JANGKA PANJANG

6 Penggunaan dari terapi oksigen bersifat tambahan yang meningkatkan survival di dalam pasien-pasien COPD dengan hypoxemia kronis. Walaupun jangka panjang oksigen telah digunakan selama bertahun-tahun di dalam pasien-pasien dengan COPD yang parah, sampai tahun 1980 bahwa data yang tersedia menjadi dokumen yang banyak manfaat-manfaat nya. .Pada waktu itu, Nocturnal Oxygen Therapy  menerbitkan data nya yang membandingkan terapi oksigen pada malam hari (bukan ; 12 h/ hari) dengan terapi oksigen berlanjut (COT; rerata dari 20 h/day). Antar pasien-pasien yang diikuti untuk sedikitnya 12 bulan, hasil-hasil
diungkapkan satu tingkat kematian di dalam NOT kelompok yang adalah hampir menggandakan  dari COT group (51% melawan 26%). Perkiraan-perkiraan statistik
kelompok  COT menyatakan bahwa COT mungkin telah ditambahkan 3.25 tahun untuk satu hidup pasien COPD. Data tambahan dari percobaan Nocturnal Oxygen Therapy  mengungkapkan bahwa pasien COT mempunyai lebih sedikit tetapi secara statistik tidak penting ,opname-opname, mutu hidup yang ditingkatkan dan fungsi neuropsychological
, hematokrit yang dikurangi, dan berkenaan dengan resistance vaskuler paru-paru yang dikurangi Kemunduran di dalam angka kematian dengan terapioksigen adalah yang diperkuat lebih lanjut di 1981 dalam suatu studi oleh Dewan riset Medis orang-orang Inggris
yang dibandingkan itu 15 h/day dari oksigen melawan tidak ada oksigen bersifat tambahan di dalam pasien COPD. Pasien-pasien yang menerima terapi oksigen untuk sedikitnya setengah hari mempunyai laju lebih rendah dari angka kematian dibanding mereka yang tidak menerima oksigen. Analisis terbaru sudah menunjukkan terapi oksigen jangka panjang menyediakan lebih  manfaat-manfaat dalam hal survival setelah lagi sedikitnya 5 tahun berguna, dan meningkatkan mutu hidup dari pasien-pasien ini serta peningkatkan berjalan jarak dan kondisi neuropsychological dan pengurangan waktu kunjungan di dalam hospital.
Sebelum pasien-pasien dipertimbangkan untuk terapioksigen jangka panjang,
mereka harus distabilkan di dalam pasien rawat jalan yang menentukan, dan pharmacotherapy
harus dioptimalkan. Sekali ketika ini terpenuhi, terapi oksigen jangka panjang harus dimulai jika yang manapun dari dua kondisi-kondisi ini ada:
1.Satu beristirahat PaO2 dari kurang dari 55 juta Hg
2.Bukti dari kebenaran gagal jantung bersisi, polisitemia, atau fungsi neuropsychiatric lemah dengan satu PaO2 dari lebih sedikit dibanding 60 mmHg.

Alat paling praktis tentang mengatur oksigen jangka panjang adalah cannula nasal, pada 1 sampai 2 L/min yang menyediakan 24% sampai 28% oksigen. Tujuanya adalah untuk menaikkan PaO2 di atas 60mmHg. Penjelasan kepada pasien sekitar penghindaran dan laju alir dari nyala api (yaitu., merokok) menjadi arti paling penting.
Ada tiga cara berbeda untukmenyampaikan oksigen, termasuk (1)di dalam reservoir-reservoir cairan, ( 2) dimampatkan ke dalam satu silinder, dan (3) via satu konsentrator oksigen. Meskipun Oxygen cair konvensional dan oksigen dimampatkan adalah cukup ruah, tangki lebih kecil ada tersedia untuk mengijinkan mobilitas pasien lebih besar. Alat-alat konsentrator oksigen zat lemas terpisah dari oksigen konsentrat dan udara ruang. Ini adalah paling menyenangkan dan metoda murah dari penyerahan oksigen.
Oxygen-conservation alat-alat ada tersedia itu mengijinkan oksigen untuk mengalir hanya selama inspirasi, membuat penyediaan [bertahan/berlangsung] lebih panjang. Ini bisa terutama sekali berguna bagi memperpanjang oksigen menyediakan untuk gerak pasien-pasien yang menggunakan silinder-silinder jinjing. Bagaimanapun, alat-alat adalah ruah  dan cenderung kepada kegagalan.

ADJUNCTIVE TERAPI

Sebagai tambahan pada suplemen  oksigen, adjunctive terapi untuk mempertimbangkan
sebagai bagian dari satu program rehabilitasi berkenaan dengan paru-paru adalah kepedulian psychoeducational dan dukungan perihal gizi. kepedulian Psychoeducational (seperti relaksasi) telah dihubungkan dengan peningkatan di dalam berfungsi dan kesehatan orang dewasa dengan COPD. Peran dari dukungan perihal gizi di dalam pasien-pasien dengan COPD adalah diperdebatkan. Beberapa studi-studi sudah menunjukkan satu
asosiasi antara malnutrisi, body mass index (BMI), dan status berkenaan dengan paru-paru lemah antar pasien-pasien dengan COPD. Bagaimanapun, di dalam satu meta-analysis terbaru, efek dari dukungan perihal gizi pada hasil-hasil di dalam COPD adalah kecil dan adalah tidak dihubungkan dengan ukuran-ukuran anthropometric yang ditingkatkan, fungsi paru-paru, atau latihan fungctional capacity.

TERAPI PHARMACOLOGIC

Sekarang ini, tidak ada pengobatan tersedia untuk perawatan COPD itu telah ditunjukkan untuk memodifikasi kemunduran progresif di dalam fungsi paru-paru
atau memperpanjang survival. Dengan begitu satu gol utama dari pharmacotherapy adalah sampai mengendalikan gejala-gejala pasien dan mengurangi kesulitan-kesulitan, termasuk
kekejaman dan frekwensi eksaserbasi dan meningkat;kan keseluruhan toleransi latihan dan status kesehatan pasien.
7 Pharmacotherapy memusat di penggunaan dari bronchodilators untuk mengendalikan
gejala-gejala. Ada beberapa kelas-kelas dari bronchodilators, dan tidak ada kelas tunggal telah terbukti untuk menyediakan atasan bermanfaat di atas agen-agen tersedia lain. Awal dan pilihan berikut dari pengobatan harus didasarkan pada situasi klinis spesifik dan karakteristik-karakteristik pasien. Pengobatan dapat digunakan bila diperlukan atau dijadwalkan tergantung pada situasi klinis, dan tambahan terapi harus ditambahkan satu cara menurut langkah tergantung pada respon dan keparahan penyakit. Pertimbangan-pertimbangan harus diberikan kepada pasien yang tergantung pada faktor-faktor respon individu, tolerabililas, kesetiaan, dan ekonomi. Satu menurut langkah mendekati sampai manajemen COPD telah diusulkan didasarkan pada langkah keparahan penyakit (figur. 27-3).


BRONCHODILATORS

Kelas-kelas bronchodilator tersedia untuk perawatan COPD meliputi β2-agonists, anticholinergics, dan metil-xantina. Ada kelas-kelas Bronchodilator tersedia untuk perawatan COPD meliputi β2-agonists, anticholinergics, dan metil-xantina-metil-xantina. Tidak ada jelas bersih bermanfaat bagi sampai satu agen atau kelas di atas  yang lain, walaupun menarik terapi inhalasi  secara umum lebih disukai. Secara umum, itu dapat lebih sulit untuk pasien-pasien dengan COPD untuk gunakan alat-alat hal penghisapan secara efektif dibandingkan dengan lain populasi-populasi usia maju oleh karena; berhubungan dengan dan kehadiran dari yang lain comorbidas.
Clinicians perlu menasehati, nasehat, dan mengamati pasien teknik dengan alat-alat sering dan secara konsisten. Bronchodilators secara umum bekerja dengan pedoman pengurangan nada dari saluran udara otot polos, dengan begitu pembatasan aliran udara pengecilan. Di dalam pasien-pasien dengan COPD, klinis keuntungan-keuntungan bronchodilators meliputi latihan ditingkatkannya kapasitas, udara yang dikurangi yang menjerat di dalam paru-paru, dan relief;pembebasan dari gejala-gejala seperti dispnea. Bagaimanapun, penggunaan dari bronchodilators tidak boleh dihubungkan dengan peningkatan-peningkatan penting di dalam pengukuran-pengukuran fungsi berkenaan dengan paru-paru seperti FEV1. Secara umum, efek samping dari bronchodilator pengobatan dihubungkan dengan efek pharmacologic mereka dan adalah dosedependent. Sebab pasien-pasien COPD adalah lebih tua dan lebih mungkin sampai sudah pada kondisi comorbid, resiko untuk interaksi obat dan efek samping pada pasien-pasien lebih tinggi dibandingkan dengan sakit asma.

Sympathomimetics (β2-Agonists)

Sejumlah agen-agen sympathomimetic ada tersedia di Amerika. Mereka bertukar-tukar di dalam kepandaian memilih, rute pemberian, dan jangka waktu dari tindakan. Di Dalam manajemen COPD, agen-agen sympathomimetic dengan β2-selectivas, atau β 2-agonists, harus digunakan sebagai bronchodilators  β2-Agonists menyebabkan bronchodilation oleh penstimulasi enzim adenyl cyclase untuk meningkatkan pembentukan adenosina monofosfat siklis (cAMP). cAMP bertanggung jawab atas menengahi relaksasi bronchial otot polos, mendorong ke arah bronchodilation. Sebagai tambahan, mereka boleh meningkatkan
mucociliary pemeriksaan. Akting lebih pendek walaupun dan lebih sedikit selektip
β -agonis-agonis masih digunakan secara luas (e.g., metaproterenol, isoetharine, isoproterenol, dan epinefrina), mereka harus tidak oleh karena; berhubungan dengan durasi kerja lebih pendek dan ditingkatkan cardiostimulatory . β 2-agonist Selektip  seperti albuterol, levalbuterol, bitolterol, formoterol, pirbuterol, salmeterol, dan terbutaline lebih disukai untuk
terapi. Sympathomimetics ada tersedia di dalam oral , yang yang inhalasi, dan parenteral bentuk sediaan. Rute pemberian yang lebih disukai adalah bentuk penghisapan.
Penggunaan dari parenteral dan oral  β agonis-agonis di dalam COPD ditakut-takuti sebab mereka adalah tidak lagi efektif dibanding dengan baik digunakan metereddose inhaler (MDI) atau DPI, dan timbulnya efek tak diinginkan sistemik seperti gemetaran tangan dan kontraksi cepat jantung adalah  lebih besar. Administrasi β 2-agonists di dalam pasien rawat jalan dan darurat pengaturan ruangan via inhaler (MDIs atau DPIs) ada di paling sedikit sama efektif
Ketika (sebagai terapi nebulisasi dan pada umumnya mengasihi untuk pertimbangan dari biaya dan convenience. Bab 26 meliputi satu uraian lengkap alat-alat untuk mengirimkan pengobatan aerosolized dan satu perbandingan  β 2-agonist terapi.
Albuterol adalah paling sering digunakan  β 2-agonist. Itu ada tersedia sebagai suatu persiapan yang inhalasi dan oral. Albuterol adalah satu campuran rasemat
dari (R)-albuterol yang bertanggung jawab untuk bronchodilator mempengaruhi dan
(S)-albuterol yang tidak punya efek terapeutik. ( S)-Albuterol dipertimbangkan
oleh beberapa clinicians untuk tanpa daya, sedangkan (orang) yang lain percaya bahwa mungkin jadilah mencakup di dalam memperburuk radang saluran udara dan menimbulkan rasa tak enak sampai (R)-albuterol. Levalbuterol adalah satu perumusan isometri tunggal
dari (R)-albuterol. Satu evaluasi retrospektif levalbuterol melawan albuterol gunakan di dalam pasien-pasien dengan sakit asma dan COPD disimpulkan levalbuterol menawarkan keuntungan-keuntungan penting di atas albuterol untuk yang pasien diopname
Lain clinicians merasakan bahwa tidak ada penting perbedaan-perbedaan antara produk-produk dan yang digunakan dari levalbuterol adalah tidak membenarkannya oleh karena; berhubungan dengan didapatnya biaya  lebih tinggi. Sebuah dosis tunggal dari levalbuterol telah dibandingkan dengan mereka yang albuterol dan ipratropium albuterol lebih di dalam pasien-pasien dengan COPD. Tidak ada perbedaan-perbedaan penting di dalam peningkatan-peningkatan fungsi berkenaan dengan paru-paru atau efek tak diinginkan yang tercatat.
Di Dalam COPD pasien-pasien,  β 2-agonists menggunakan satu serangan cepat menghilangkan pengaruh atau dayanya, walaupun tanggapan secara umum adalah kurang dari  yang dilihat di sakit asma. Shortacting β 2-agonists yang inhalasi  menyebabkan hanya satu peningkatan kecil di dalam FEV1 dengan sangat tetapi boleh meningkatkan gejala-gejala berhubung pernapasan dan berlatih toleransi di samping peningkatan kecil di dalam measurements. spirometric Pasien-pasien dengan COPD dapat gunakan cepat,serangan  β2-agonists jika dibutuhkan untuk relief;pembebasan dari gejala-gejala atau salah satu β2-agonists  kerja lama di a menjadwalkan basis untuk mencegah atau mengurangi gejala-gejala. Durasi kerja pendek  β 2-agonists adalah 4 sampai 6 jam. Long-acting, yang inhalasi β 2-agonists menawarkan manfaat dari satu jangka waktu panjang dari tindakan tanpa kehilangan efektivitas. Salmeterol dan formoterol dapat dosed tiap-tiap 12 jam dan menyediakan bronchodilation sepanjang interval pendosisan. Formoterol mempunyai satu serangan dari tindakan serupa dengan albuterol, sedangkan salmeterol mempunyai satu serangan lebih lambat; bagaimanapun, kedua-duanya agen-agen ditandai untuk bronchodilation yang didukung dan bukan untuk relief;pembebasan akut dari gejala-gejala. Di dalam studi-studi klinis, long acting β 2-agonists yang inhalasi menyediakan peningkatan-peningkatan superior atau yang serupa di dalam fungsi paru-paru, laju eksaserbasi, dan peningkatan-peningkatan gejala bandingkan dengan short acting bronchodilators. Ada satu literatur untuk mendukung penggunaan agen-agen long acting lama di dalam pasien dengan sering dan gejala-gejala gigih. Karena pasien-pasien yang menggunakan β 2-agonists dia menjadwalkan basis, agen-agen long acting seperti formoterol dan salmeterol lebih menyenangkan oleh karena frekwensi dosing yang dikurangi tetapi adalah juga lebih mahal. Terapi long acting harus dipertimbangkan bila pasien-pasien mempertunjukkan satu kebutuhan sering untuk agen-agen short acting.


Anticholinergics

Bila yang diberi oleh hal penghisapan, anticholinergics seperti ipratropium atau atropin menghasilkan bronchodilation dengan cara bersaing menghambat kolinergik sel yang peka rangsangan di dalam bronchial otot polos. Aktivitas ini menghalangi asetilkolina, dengan efek bersih menjadi pengurangan di dalam guanosina siklis monophosphate (cGMP), yang secara normal bertindak sampai cerut bronchial otot polos. sel yang peka rangsangan Muscarinic di otot polos saluran udara meliputi kategori smooth muscle, M2, dan M3 subtypes. Pengaktifan Sel yang peka rangsangan kategori pasokan dari kategori M1 dan M2 dan kategori pasokan smooth muscle dengan asetilkolina mengakibatkan bronkokonstriksi; bagaimanapun, pengaktifan dari M2 sel yang peka rangsangan menghalangi pelepasan (release) asetilkolina lebih lanjut. Sampai baru-baru ini, ipratropium telah (menjadi) satu-satunya agen anticholinergic tersedia untuk COPD. Atropin mempunyai satu struktur tersier dan
apakah menyerap siap ke seberang mukosa berhubung pernapasan dan oral, sedangkan
ipratropium mempunyai satu struktur berempat, berjumlah empat diserap dengan kurang baik.
ketiadaan penyerapan sistemik ipratropium sangat mengurangi anticholinergic efek samping seperti penglihatan kabur, retensi urin, kemuakan, dan kontraksi cepat jantung berhubungan dengan atropin. Ipratropium bromida ada tersedia sebagai suatu MDI dan satu solusi untuk hal penghisapan. Itu menyediakan satu puncak mempengaruhi  1.5 sampai 2 jam dan mempunyai satu jangka waktu menghilangkan pengaruh atau dayanya dari 4 sampai 6 jam. Ipratropium mempunyai satu serangan lebih lambat dari tindakan dan lebih memperpanjang bronchodilator efek bandingkan dengan standard  β 2-agonists.
Oleh karena serangan lebih lambat menghilangkan pengaruh atau dayanya (15 sampai 20 menit membandingkan dengan 5 menit untuk albuterol), mungkin saja lebih sedikit pantas untuk jika dibutuhkan penggunaan; bagaimanapun, itu adalah sering ditentukan Clinicians berbeda pilihan di dalam pilih awal short acting bronchodilator terapi untuk pasien dengan COPD. Kedua-duanya satu pendek akting β 2-agonist dan ipratropium merepresentasikan aneka pilihan layak untuk terapiyang awal.
Peran dari anticholinergics yang yang inhalasi di dalam COPD sungguh established. Bagaimanapun, diakibatkan oleh Studi Kesehatan Paru-paru menunjukkan bahwa perawatan dengan ipratropium tidak mempengaruhi progresif merosot di dalam paru-paru berfungsi  Studi yang membandingkan ipratropium dengan inhalasi β2-agonists sudah secara umum melaporkan peningkatan-peningkatan yang serupa di dalam fungsi berkenaan dengan paru paru. orang yang lain melaporkan satu manfaat rendah dengan ipratropium, termasuk satu timbulnya lebih rendah dari efek samping seperti tachycardia. Walaupun dosis yang direkomendasikan dari ipratropium adalah 2 puff empat kali satu hari, ada bukti untuk satu dosis, tanggapan, sehingga dosis dapat menaik titrated sering sampai 24 puff satu hari. Ipratropium telah ditunjukkan untuk maksimum peningkatan berlatih capaian di dalam pasien-pasien COPD stabil dengan dosis-dosis dari 8 sampai 12 puff sebelum latihan tetapi bukan dengan dosis-dosis dari 4 puff atau lebih sedikit. Selama tidur, ipratropium juga telah menjadi seperti urat nadi penjenuhan oksigen dan tidur quality. Ipratropium sungguh dimaklumi. keluhan-keluhan pasien Paling sering kering mulut, kemuakan, dan satu rasa logam sekali-kali.
Tiotropium bromida, yang dilepaskan di dalam Amerika Serikat di dalam 2004, apakah satu quarternary anticholinergic long acting agen. Agen ini menghalangi asetilkolina oleh bersetuju untuk - sel yang peka rangsangan muscarinic di dalam kelenjar-kelenjar ingus dan otot polos saluran udara, menghalangi kolinergik dari bronkokonstriksi dan pengeluaran ingus. Tiotropium memisahkan pelan-pelan from M1 and M3 sel yang peka rangsangan, membiarkan diperpanjang bronchodilation. Pemisahan fromM2 sel yang peka rangsangan adalah banyak lebih cepat, membiarkan penghambatan pelepasan (release) asetilkolina. Mengikat studi-studi dari tiotropium di dalam paru-paru manusia menunjukkan bahwa kira-kira 10-fold lebih kuat dibanding ipratropium dan melindungi dari bronkokonstriksi kolinergik
karena lebih besar dari 24 hours. Bila yang yang inhalasi, tiotropium adalah secara minimal diserap ke dalam sistemik peredaran dan mengakibatkan bronchodilation di dalam 30 menit,
dengan satu puncak mempengaruhi di 3 jam. Bronchodilation tetap berlaku untuk sedikitnya
24 jam. Di dalam Amerika Serikat, itu dikirimkan via HandiHaler tiotropium tunggal dimaklumi, dengan keluhan paling umum menjadi mulut kering. Efek samping anticholinergic lain yang dilaporkan meliputi sembelit, retensi urin, kontraksi cepat jantung, penglihatan kabur, dan timbulnya gejala-gejala glaukoma sudut sempit. Sebagai terapibaru untuk COPD, tiotropium dievaluasi sebagai suatu penambahan sampai pengobatan COPD baku dalam suatu 1-year, plasebo, yang terkendali, studi buta ganda yang menyertakan di atas 900 pokok. Tiotropium 18 mcg/ hari meningkatkan FEV1 respon satu rerata dari 12% ( palung) sampai 22% puncak bila yang ditambahkan sampai therapy. baku Keselamatan dan kemanjuran dari tiotropium mengatur via satu DPI dibandingkan dengan ipratropium diatur empat kali sehari-hari oleh MDI dalam suatu multicenter, studi buta ganda yang mengikuti pasien-pasien untuk 1 year. Pasien-pasien yang menerima sekali ketika tiotropium sehari-hari mempertunjukkan peningkatan-peningkatan lebih besar dengan mantap di dalam fungsi paru-paru dan terpilih quality-of-life yang baik, berkurang dispnea, dan lebih sedikit eksaserbasi dibandingkan dengan pasien-pasien yang menerima ipratropium. Tidak ada perbedaan-perbedaan di dalam efek samping antara kedua agen-agen.
Sebagai agen tersedia baru saja, tiotropium diharapkan untuk bersaing dengan long acting(lama yang inhalasi β2-agonists untuk manajemen COPD. Once daily tiotropium telah dibandingkan dengan salmeterol sehari-hari dua kali di dalam dua plasebo mengawasi percobaan-percobaan dari 6 jangka waktu bulan. Tiotropium mengurangi eksaserbasi sakit asma dan masuk rumah sakit dan ditingkatkan mutu hidup, sedangkan kedua-duanya perawatan-perawatan aktip meningkatkan fungsi paru-paru
dan mengurangi dyspnea. yang terkendali , percobaan randomized 6-month lain dari pasien-pasien dengan COPD, pasien-pasien adalah randomized untuk menerima yang manapun
tiotropium sekali ketika sehari-hari oleh DPI, salmeterol dua kali sehari-hari oleh MDI, atau
placebo. Pasien-pasien yang menerima tiotropium mempunyai peningkatan-peningkatan lebih besar di dalam palung FEV1 dan dispnea mencetak membaik dibandingmereka yang yang menerima salmeterol. Pasien-pasien juga lebih mungkin sampai sudah peningkatan-peningkatan di dalam quality-of-life, indikator dengan tiotropium dibanding dengan salmeterol. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan-perbedaan di dalam frekwensi dari eksaserbasi dicatat di antara tiga kelompok-kelompok. Terapianticholinergic yang yang inhalasi mempunyai satu peran penting di dalam manajemen COPD. Ipratropium ada tersedia sebagai suatu MDI (secara individu dan di dalam kombinasi dengan albuterol) mengirimkan 18 mcg per puff dan sebagai solusi untuk nebulisasi pada 200 mcg/mL. Tiotropium ada tersedia sebagai DPI pada 18 mcg per dosis. Tiotropium menjadi tersedia di dalam mid-2004. Bagaimanapun, didasarkan pada kenyamanan dan kemanjuran, itu mungkin akan main satu peran utama di dalam manajemen COPD.

Kombinasi Anticholinergics dan Sympathomimetics

Kombinasi dari bronchodilators digunakan sering di dalam perawatan dari COPD, terutama ketika penyakit maju dan gejala-gejala bertambah buruk dari waktu ke waktu. Mengkombinasikan bronchodilators dengan mekanisme-mekanisme berbeda dari tindakan mengijinkan ED mungkin paling rendah untuk digunakan
dan mengurangi efek potensial tak diinginkan dari agen kombinasi-kombinasi yang individu
dari kedua-duanya short and long akting  β2-agonists dengan ipratropium telah ditunjukkan untuk menyediakan menambahkan peningkatan-peningkatan dan relief;pembebasan yang merupakan gejala di dalam fungsi. Berkenaan dengan paru-paru satu kombinasi albuterol dan ipratropium (Combivent) adalah tersedia sebagai suatu MDI di dalam Amerika Serikat untuk pemeliharaan kronis terapi dari COPD. Produk ini menawarkan kenyamanan jelas nyata dari
dua kelas dari bronchodilators dalam suatu penyaring udara tunggal. Kombinasi masa depan
produk-produk hal penghisapan boleh berisi β 2-agonists  kerja panjang dengan tiotropium untuk mengurangi kebutuhan akan dosing sering. Dalam suatu persiapan dosis tunggal, kombinasi tiotropium dan formoterol muncul dalam suatu peningkatan lebih besar dan lebih cepat di dalam FEV1 bandingkan dengan perawatan tunggal.

Golongan Metil Xantin

Metil-xantina, termasuk aminofilina dan teofilina, sudah tersedia untuk perawatan COPD untuk sedikitnya lima dekade dan pada suatu waktu pertama yang dipertimbangkan garis terapi. Bagaimanapun, di dalam yang lampau 20 tahun, dengan kedatangan inhalasi β 2-agonists yang long acting dan inhalasi anticholinergics, mereka adalah tidak lagi pertama yang dipertimbangkan garis terapi. Terapibronchodilator yang yang inhalasi lebih disukai untuk COPD. Sebab resiko untuk interaksi obat dan intrapatient penting dan interpatient variabilitas di dalam persyaratan-persyaratan dosis, terapiteofilina secara umum dipertimbangkan di dalam pasien-pasien yang adalah taktoleran atau tidak mampu untuk gunakan satu bronchodilator yang yang inhalasi. Metil-xantina boleh menghasilkan bronchodilation sampai banyak mekanisme-mekanisme, termasuk (1) penghambatan fosfodiesterase, cAMP yang meningkat dengan demikian mengukur, ( 2) penghambatan pelapasan ion zat kalsium ke dalam otot polos, ( 3) pertentangan prostaglandin, ( 4) rangsangan katekolamina-katekolamina endogin, ( 5) pertentangan sel yang peka rangsangan adenosina, dan (6)penghambatan pelepasan(release dari penengah-penengah dari mastosit dan leukocytes.
Teofilina kronis gunakan di dalam pasien-pasien dengan COPD telah ditunjukkan untuk menggunakan peningkatan-peningkatan di dalam fungsi paru-paru, termasuk kapasitas vital (VC), FEV1, ventilasi menit, dan gas exchange. Secara subyektif, teofilina telah ditunjukkan untuk mengurangi dispnea, peningkatan berlatih toleransi, dan meningkatkan pernapasan menancapkan COPD patients. nonpulmonary barang kepunyaan dari teofilina yang boleh berperan untuk meningkatkan keseluruhan kapasitas fungsional di dalam pasien-pasien dengan COPD meliputi ditingkatkan fungsi berhubungan dengan jantung dan nadi utama berkenaan dengan paru-paru yang dikurangi pressure. Walaupun teofilina ada tersedia dalam suatu variasi dari dosis bentuk oral, persiapan-persiapan pelepasan berkelanjutan adalah paling sesuai untuk jangka panjang manajemen COPD. Produk-produk ini mempunyai keuntungan-keuntungan tentang meningkat;kan pemenuhan pasien dan menuju keberhasilan lebih konsisten konsentrasi-konsentrasi serum di atas aminofilina dan teofilina pelepasan(release) cepat.Kesamping dari aminofilina yang kedalam pembuluh darah, penggunaan tidak usah  yang manapun berbagai format-format garam-garam dari teofilina. Penggunaan reguler dari metil-xantina- belum menunjukkan  mempunyai yang manapun satu menguntungkan atau satu efek merugikan pada kemajuan COPD. Bagaimanapun,
metil-xantina bisa ditambahkan untuk rencana perawatan dari pasien-pasien siapa yang belum mencapai satu tanggapan klinis optimal sampai ipratropium dan satu yang yang inhalasi β 2-agonist. Studi-studi menyatakan bahwa menambahkan teofilina untuk satu kombinasi albuterol dan ipratropium menyediakan manfaat ditambahkan karena pasien-pasien COPD stabil, mendukung hipotesis satu effect sinergis. bronchodilator Kemanjuran dari kombinasi
terapidengan salmeterol dan teofilina untuk pasien-pasien dengan COPD adalah dilaporkan untuk meningkatkan fungsi berkenaan dengan paru-paru dan mengurangi dispnea lebih baik dibanding salah satu perawatan alone. Perawatan kombinasi juga dihubungkan dengan mengurangi jumlah eksaserbasi hanya ketika membandingkan dengan kelompok teofilina, mengusulkan bahwa salmeterol komponen bertanggung jawab atas ini efek menguntungkan.
Benar begitu dengan terapibronchodilator lain, parameter-parameter lain dibanding pengukuran-pengukuran objektif, seperti FEV1, harus dimonitor sampai menilai kemanjuran dari teofilina di dalam COPD. Parameter-parameter subjektif,  seperti peningkatan-peningkatan yang dirasa di dalam gejala-gejala dari dispnea, dan latihan toleransi, yang di;jadi;kan terus meningkat penting di dalam menaksir kemampuan menerima dari metil-xantina untuk COPD pasien-pasien. Walaupun sasaran peningkatan bisa minimal, pasien-pasien boleh mengalami satu peningkatan di dalam gejala-gejala klinis, dan dengan begitu bermanfaat bagi sampai setiap bisa penuh arti. Peran dari teofilina di dalam COPD adalah ketika terapipemeliharaan di dalam non acutely pasien penyakit. Terapi dapat diaktipkan pada 200 mg dua kali sehari-hari dan menaik titrated tiap-tiap 3 sampai 5 hari sampai dosis target.
Kebanyakan pasien-pasien memerlukan dosis-dosis sehari-hari dari 400 sampai 900 mg. Penyesuaian-penyesuaian dosis secara umum harus dibuat didasarkan pada hasil-hasil konsentrasi serum. Secara kebiasaan, rentang terapeutik dari teofilina dikenali ketika 10 sampai 20 mcg/mL; bagaimanapun, oleh karena frekwensi dari terkait dengan dosis efek samping dan manfaat secara relatif kecil dari konsentrasi-konsentrasi lebih tinggi, satu rentang terapeutik lebih konservatif dari 8 sampai 15 mcg/mL sering adalah ditargetkan. Ini adalah terutama lebih baik di dalam lanjut usia. Bila konsentrasi-konsentrasi terukur, pengukuran-pengukuran palung adalah paling sesuai. Sekali se dosis dibentuk/mapan, konsentrasi-konsentrasi serum harus dimonitor sekali ketika atau dua kali satu tahun kecuali jika penyakit pasien bertambah buruk, pengobatan yang bertentangan dengan metabolisme teofilina ditambahkan sampai terapi, atau ketoksikan dicurigai. efek samping Paling umum dari terapiteofilina dihubungkan dengan sistem alergi gastrointestinal, sistem cardiovasculer, dan sistem saraf pusat. Efek samping apakah terkait dengan dosis; bagaimanapun, ada tumpang-tindih di dalam efek samping antara cakupan-cakupan beracun dan mengobati. Efek samping kecil meliputi salah cerna, kemuakan, memuntahkan, diarrhea, sakit kepala, kepeningan, dan kontraksi cepat jantung. ketoksikan-ketoksikan Lebih serius, terutama pada konsentrasi toksik, meliputi arrhythmias dan perampasan-perampasan. Faktor-faktor yang ber/kurang pemeriksaan teofilina dan didorong kearah dikurangi persyaratan-persyaratan dosis perawatan meliputi usia dikedepankan, hasil bakteri atau radang paru paru karena virus, kegagalan rongga benar atau yang ditinggalkan, kelainan fungsi tubuh hati, hypoxemia dari dekompensasi akut, dan penggunaan dari obat/racun-obat/racun seperti simetidina, makrolida-makrolida, dan fluoroquinolone zat pembunuh kuman. Itu faktor-faktor boleh tingkatkan pemeriksaan teofilina dan mengakibatkan kebutuhan akan lebih tinggi dosis perawatan meliputi merokok ganja dan tembakau, hipertiroidisme, dan penggunaan dari obat- obat seperti fenitoin seperti  obat tidur, dan rifampin.

KORTIKOSTEROID-KORTIKOSTEROID

Terapikortikosteroid telah dipelajari dan diperdebatkan di dalam COPD terapi separuh abad yang lalu; oleh karena; berhubungan dengan kurang  bermanfaat bagi pengobatan, terapi kortikosteroid sistemik kronis harus dihindarkan jika mungkin. Oleh karena peran potensial dari radang di dalam patogenesis penyakit, clinicians berharap akan peluang agen-agen kortikosteroid-kortikosteroid di dalam manajemen COPD. Bagaimanapun, penggunaan mereka diperdebatkan terutama di dalam manajemen COPD stabil. Mekanisme-mekanisme anti-intlamasi dengan mana kortikosteroid-kortikosteroid menggunakan efek menguntungkan mereka di dalam COPD meliputi (1) pengurangan di dalam kapiler dapat menyerap air atau gas untuk berkurangnya sputum, ( 2) penghambatan pelepasan(release) dari proteolitik enzim-enzim dari leukocytes, dan (3) penghambatan prostaglandin-prostaglandin. Sungguh disayangkan, secara klinis keuntungan-keuntungan terapi kortikosteroid sistemik di dalam manajemen COPD kronis adalah sering bukan jelas, dan resiko dari ketoksikan adalah berjangkauan luas. Sekarang ini, sesuai situasi-situasi untuk mempertimbangkan kortikosteroid-kortikosteroid di dalam COPD meliputi (1) jangka pendek
penggunaan sistemik untuk eksaserbasi akut dan (2) terapi hal penghisapan untuk COPD stabil kronis. Peran dari steroid oral gunakan di dalam pasien-pasien COPD stabil kronis
dievaluasi dalam suatu meta-analysis (di) atas satu dekade lalu .Penyelidik-penyelidik
disimpulkan itu hanya satu pecahan kecil (10%) dari COPD pasien-pasien perlakukan
dengan steroid-steroid menunjukkan peningkatan penting secara klinis di dalam garis belakang FEV1 (peningkatan dari 20%) dibandingkan dengan mereka yang bermufakat dengan plasebo.
Selagi sedang sejumlah kecil COPD pasien-pasien dipertimbangkan responders sampai steroid-steroid oral, banyak dari pasien-pasien ini benar-benar mungkin punya satu menderita asma, atau dapat dibalik, komponen untuk penyakit mereka. Peramal-peramal terbaik
karena tanggapan sampai steroid-steroid oral adalah kehadiran dari eosinofili-eosinofili pada dahak pengujian (3%) dan satu tanggapan penting pada fungsi berkenaan dengan paru-paru
menguji sampai sympathomimetics. Kedua-duanya kehadiran dari eosinofili-eosinofili
di dalam dahak dan kemampuan reaksi sampai sympathomimetics menyarankan satu
komponen menderita asma untuk proses penyakit dan dengan begitu boleh menjelaskan
manfaat klinis melihat dengan steroid-steroid. Efek tak diinginkan jangka panjang berhubungan dengan kortikosteroid sistemik terapi meliputi osteoporosis, berhentinya pertumbuhan berotot, pengenceran kulit, pengembangan katarak, dan gagal ginjal.Resiko-resiko berhubungan dengan terapisteroid jangka panjang adalah jauh lebih besar dibanding manfaat-manfaat klinis. Jika satu keputusan untuk bermufakat dengan jangka panjang
kortikosteroid-kortikosteroid sistemik dibuat, dosis efektif mungkin paling rendah harus diberi sekali ketika per hari pagi-pagi untuk memperkecil resiko dari penindasan tentang ginjal. Jika terapidengan agen-agen oral diperlukan, satu jadwal hari lain harus digunakan.
Sebelumnya, satu praktek klinis umum adalah untuk mengurus satu pendek kursus (2 minggu) dari kortikosteroid-kortikosteroid oral sebagai percobaan untuk meramalkan yang pasien-pasien akan bermanfaat bagi dari kortikosteroid-kortikosteroid yang inhalasi atau oral kronis.
Bukti cukup sekarang ada yang mengusulkan bahwa . ini praktek adalah bukan efektif di dalam meramalkan satu tanggapan jangka panjang sampai kortikosteroid yang yang inhalasi
dan harus tidak direkomendasikan.Penggunaan dari terapikortikosteroid inhalasi kronis telah menjadi dari menarik perhatian untuk dekade yang lampau. Kortikosteroid-kortikosteroid yang yang inhalasi mempunyai satu meningkatkan resiko perbandingan manfaat bandingkan dengan terapikortikosteroid sistemik. Menggunakan model untuk sakit asma, itu adalah berharap agar hal penghisapan kuat kortikosteroid akan mengakibatkan tinggi kemanjuran lokal dan dibatasi sistemik ketoksikan dan pengunjukan. Kemudian bagian dari 1990s, beberapa percobaan-percobaan yang internasional besar diaktipkan untuk mengevaluasi efek pada kortikosteroid-kortikosteroid yang yang inhalasi di dalam COPD. Sungguh disayangkan, hasil-hasil dari ini uji klinis utama gagal;untuk mempertunjukkan manfaat dari perawatan kronis dengan kortikosteroid yang yang inhalasi di dalam memodifikasi kemunduran fungsi paru-paru jangka panjang di dalam itu karakteristik COPD. Oleh karena itu, peran dari kortikosteroid-kortikosteroid yang yang inhalasi di dalam COPD melanjut untuk diperdebatkan di dalam literatur, tidak sama dengan sakit asma, di mana penggunaan mereka adalah dengan jelas didukung. Sebagian besar debat memusat di hasil sesuai mengukur di  populasi pasien-pasien ini. Sepanjang dekade akhir, beberapa studi-studi dari kortikosteroid-kortikosteroid yang yang inhalasi di dalam COPD dirancang untuk mendeteksi satu manfaat pada melambatnya  progresifitas penurunan fungsi paru-paru, tetapi hasil-hasil adalah mengecewakan .Tidak satupun dari nasional besar atau percobaan-percobaan yang internasional bisa mempertunjukkan satu manfaat dari dosis tinggi menarik napas/menghisap terapi kortikosteroid di ini hasil utama. Bagaimanapun, inhalasi kortikosteroid-kortikosteroid telah dihubungkan dengan manfaat-manfaat penting lain dalam beberapa pasien-pasien, termasuk satu pengurangan di dalam peningkatan-peningkatan dan frekwensi eksaserbasi di dalam keseluruhan status kesehatan . Clinicians melanjut untuk berdebat paling sesuai dan  mengukur hasil relevan untuk mengevaluasi di dalam studi-studi COPD. Yang didasarkan di hasil-hasil dari uji klinis, petunjuk konsensus menyatakan bahwa inhalasi terapi kortikosteroid harus dipertimbangkan untuk yang merupakan gejala pasien-pasien dengan langkah III atau IV penyakit (FEV1< 50%) yang mengalami exacerbations diulangi. Ini adalah pasien-pasien yang mempertunjukkan bermanfaat bagi di dalam uji klinis dan di dalam mana satu percobaan dari kortikosteroid yang inhalasi terapi dijamin. Ada juga data dari studi-studi epidemiologic
itu menyatakan bahwa perawatan kronis dengan kortikosteroid-kortikosteroid yang inhalasi dihubungkan dengan satu opname kembali resiko lebih rendah untuk satu lebih luas kelompok
pasien-pasien dengan COPD. Dengan begitu debat sekitar peran sesuai untuk
terapianti-intlamasi ini melanjut. Walaupun satu dosis respon hubungan untuk kortikosteroid-kortikosteroid yang yang inhalasi belum dipertunjukkan di dalam COPD, uji klinis utama
dipekerjakan moderat sampai dosis-dosis tinggi untuk perawatan. Efek samping dari
inhalasi kortikosteroid-kortikosteroid adalah secara relatif lemah dibandingkan dengan ketoksikan dari terapisistemik. parau, Sakit tenggorokan, kandidiasis oral, dan fibrilasi kulit telah dilaporkan di dalam uji klinis. Efek samping, menjengkelkan seperti penindasan tentang ginjal, osteoporosis, dan katarak formasi, telah dilaporkan lebih sedikit sering dibanding dengan kortikosteroid-kortikosteroid sistemik, tetapi clinicians perlu memonitor pasien-pasien yang sedang menerima dosis tinggi therapi. kronis .

TERAPI KOMBINASI: BRONCHODILATORS DAN KORTIKOSTEROID-KORTIKOSTEROID INHALASI

Berikut hasil-hasil mengecewakan studi-studi dari kortikosteroid inhalasi kronis dan kemunduran progresif di dalam fungsi paru-paru, penyelidik-penyelidik menjadi tertarik akan kombinasi terapianti-intlamasi kuat dan long acting bronchodilators. Sesudah itu, beberapa studi-studi sudah menunjukkan satu manfaat aditif dengan long acting bronchodilators. Dalam berbagai studi-studi, terapi kombinasi dengan salmeterol fluticasone lebih atau formoterol budesonide lebih dihubungkan dengan lebih besar peningkatan-peningkatan di dalam hasil-hasil klinis seperti FEV1, status kesehatan, dan frekwensi dari eksaserbasi bandingkan dengan inhalasi kortikosteroid-kortikosteroid atau long acting bronchodilators sendirian. Ketersediaan kombinasi inhalasi(e.g., salmeterol fluticasone lebih) administrasi buatan-buatan kedua-duanya menarik napas/menghisap kortikosteroid-kortikosteroid dan long acting bronchodilators lebih menyenangkan untuk pasien-pasien dan pengurangan-pengurangan jumlah keseluruhan jumlah hal penghisapan sehari-hari yang diperlukan. Kebanyakan studi-studi dilakukan dan diterbitkan setelah percobaan-percobaan kortikosteroid internasional . Penyelidikan-penyelidikan klinis lebih lanjut dijamin; bagaimanapun, terapikombinasi adalah
ditentukan terus meningkat di dalam praktek klinis, dan produk-produk tambahan itu kombinasikan dua  kelas-kelas mengobati ini diantisipasi.

TERAPI PENGGANTIAN α-1 ANTITRYPSIN

Di dalam pasien-pasien dengan menerima warisan kekurangan AAT berhubungan penyakit paru-paru, perawatan memusat di pengurangan faktor-faktor resiko seperti merokok, yang merupakan gejala perawatan dengan bronchodilators, dan terapi tambahan dengan penggantian AAT. Terapitambahan terdiri dari penuangan-penuangan mingguan dari manusia yang disatukan AAT untuk memelihara AAT-AAT kadar plasma di atas 10 micromolar. Bukti klinik untuk fungsi paru-paru lambat merosot atau meningkat;kan hasil-hasil dengan terapi tambahan adalah jarang. Satu studi penelitian mengikuti pasien-pasien di dalam Pencatatan Nasional dari AAT Kekurangan diatas masa beberapa tahun dan didokumentasikan hasil-hasil klinis. Di  studi ini, pasien-pasien yang menerima tambahan mingguan terapi dengan AAT yang dibersihkan mempunyai kemunduran-kemunduran lebih lambat di dalam FEV1 dan berkurangnya angka kematian bandingkan dengan pasien-pasien yang tidak pernah menerima tambahan therapy. Bagaimanapun, ini adalah satu studi penelitian dari pasien-pasien, bukan satu percobaan acak  plasebo mengawasi, hubungan-hubungan causeand-effect sangat langsung tidak bisa disimpulkan. Satu randomized, plasebo mengawasi studi dari pasien-pasien dengan kekurangan AAT akut(ZZ fenotipe) apakah dulu menunjukkan satu pengurangan penting di dalam kerugian jaringan paru-paru dan pembinasaan seperti yang terukur oleh  tomographic yang dihitung (CT) meneliti di dalam
pasien-pasien yang menerima tambahan therapy. Tetapi, ukuran-ukuran dari paru-paru, fungsi dan dapat menurunnya angka kematian tidak direkam. Cara hidup dosing yang direkomendasikan untuk penggantian AAT adalah 60 mg/kg mengatur melalui i.v. sekali seminggu pada a tingkat 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan sampai toleransi pasien. Itu telah diperkirakan bahwa  ini dari keinginan terapi tambahan mempunyai satu biaya tahunan dari $ 20,000 sampai $ 30,000 per patient. disana telah diulangi permasalahan penyediaan dari ini terapi penggantian biologi yang diperoleh dari disatukan donor darah pencemaran dan kesukaran produksi yang dihubungkan dengan mengeluarkannya. Sekarang ini, ada tiga produk  tersedia (Prolastin, Aralast, dan Zemaira), yang perlu memperkecil masalah ini di masa depan.

PERAWATAN:  EKSASERBASI COPD

HASIL-HASIL YANG DIINGINKAN

Tujuan dari terapi untuk pasien-pasien yang mengalami; eksaserbasi COPD adalah (1) pencegahan opname atau pengurangan tinggal di dalam rumah sakit, (2)pencegahan kematian dan kegagalan berhubung pernapasan akut, dan (3) resolusi dari gejala-gejala pembusukan dan satu kembali ke garis belakang status klinis dan mutu hidup. Berbagai pilihan-pilihan mengobati diringkas di dalam Tabel 27-13. Pharmacotherapy terdiri dari intensifikasi bronchodilator terapidan satu pendek sepanjang kortikosteroid-kortikosteroid sistemik. Anti mikroba terapiditandai di hadapan gejala-gejala yang terpilih.
Karena keparahan dan frekwensi eksaserbasi adalah berhubungan erat bagi masing-masing pasien keseluruhan status kesehatan, semua pasien perlu menerima optimal perawatan kronis, termasuk perhentian merokok, terapi pharmacologic yang sesuai  dan terapi pencegah seperti vaksinasi-vaksinasi.

NON PHARMACOLOGIC TERAPI

TERAPI OKSIGEN YANG TERKENDALI

Terapi oksigen harus dipertimbangkan untuk pasien dengan hypoxemia selama satu Aksaserbasi. Perhatian harus digunakan, bagaimanapun, sebab banyak orang pasien-pasien dengan COPD bersandar pada hypoxemia  untuk mencetuskan penekanan mereka sampai bernafas. Di dalam individu sehat , normal, penekanan untuk bernafas dicetuskan dengan akumulasi gas asam-arang. Di dalam pasien-pasien dengan COPD yang mempertahankan gas asam-arang sebagai hasil kemajuan penyakit mereka, hypoxemia dibanding hiperkapnia menjadi pemicu utama untuk mereka penekanan berhubung pernapasan. administrasi oksigen sangat agresif sampai pasien-pasien dengan hiperkapnia kronis boleh mengakibatkan tekanan berhubung pernapasan dan kegagalan berhubung pernapasan. Terapi oksigen harus digunakan untuk mencapai PaO2 dari lebih besar dari 60 mmHg atau penjenuhan oksigen lebih besar dari 90%. Bagaimanapun, satu ABG harus diperoleh setelah inisiasi oksigen sampai memonitor retensi gas asam-arang; karena hal ini berhubungan dengan hypoventilation.


MEKANISME VENTILASI NON INVASIVE

Ventilasi Tekanan Positif Non Invasif (NPPV) menyediakan dukungan ventilasi dengan oksigen dan aliran udara yang diberi tekanan menggunakan masker penutup muka atau hidung dengan satu segel ketat tetapi tanpa endotracheal intubasi. Di sana sudah banyak pelaporan keuntungan-keuntungan percobaan-percobaan NPPV pada pasien-pasien dengan kegagalan berhubung pernapasan akut dalam kaitan dengan eksaserbasi COPD. Di satu metaanalysis dari delapan studi, NPPV dihubungkan dengan angka kematian lebih rendah, laju intubasi lebih rendah, korset rumah sakit lebih pendek, dan peningkatan-peningkatan lebih besar di dalam pH  serum dalam 1 jam bandingkan dengan perawatan umum sendiri. Manfaat-manfaat melihat dengan NPPV secara umum dapat dihubungkan dengan satu pengurangan  dalam kesulitan-kesulitan sering muncul dengan mekanika yang menyerbu ventilasi. Tidak semua pasien-pasien dengan Eksaserbasi COPD adalah  pengguna sesuai untuk NPPV. Pasien-pasien dengan status mental yang tak tentu mungkin tidak mampu mencukupi pemasukan saluran udara mereka dan dengan begitu bisa ditingkatkannya resiko. Pasien-pasien dengan asidosis buruk (pH< 7.25), berhubung  dengan penghentian pernapasan, atau ketidakstabilan cardiovasculer tidak dipertimbangkan menggunakan  NPPV. Pasien-pasien yang tidak berhasil satu percobaan dari NPPV atau mereka mempertimbangkan penggunanya lemah bisa dipertimbangkan untuk intubasi dan mekanika ventilasi.

TERAPI PHARMACOLOGIC

BRONCHODILATORS

Selama eksaserbasi, regimen intensif bronchodilator biasanya digunakan. Frekwensi dan dosis-dosis dari bronchodilators ditingkatkan untuk menyediakan relief; yang merupakan gejala. Shortacting β2 -agonists adalah lebih disukai  karena; berhubungan dengan tindakan yang lebih disukai . Agen-agen Anticholinergic boleh ditambahkan jika gejala-gejala tetap berlaku di samping dosis-dosis yang yang ditingkatkan dari  β 2-agonists. Sesungguhnya, kombinasi-kombinasi agen-agen ini dipekerjakan sering, walaupun data sedang kekurangan sekitar manfaat dosis-dosis lebih tinggi melebihi dari satu agen. Bronchodilators bisa diatur via MDI atau nebulisasi dengan kemanjuran sama. Nebulisasi bisa dipertimbangkan untuk pasien-pasien dengan dispnea yang parah yang tidak mampu untuk menjaga nafas mereka setelah penggunaan suatu MDI. Bukti klinik mendukung penggunaan dari teofilina selama eksaserbasi sedang kurang, dan dengan begitu teofilina secara umum harus dihindarkan. Bagaimanapun, penambahan salah satu dari agen-agen ini bisa dipertimbangkan karena pasien-pasien tidak menjawab untuk terapi lain. Resiko rata-rata seperti berhubungan denganarrhythmia jantung  harus dipertimbangkan dan level serum harus terus dimonitor.

KORTIKOSTEROID-KORTIKOSTEROID

Sampai baru-baru ini, literatur mendukung penggunaan dari kortikosteroid-kortikosteroid di dalam eksaserbasi akut COPD adalah jarang. Bagaimanapun, karena di tahun 1996, lima studi telah dilakukan untuk membuat dokumen nilai dari kortikosteroid sistemik di dalam eksaserbasi COPD. The Systemic Corticosteroids di dalam percobaan Chronic Obstructive Pulmonary Disease Exacerbations (SCCOPE) mengevaluasi tiga kelompok pasien-pasien dengan opname untuk eksaserbasi COPD. Kelompok pertama menerima kursus 8 minggu  dari kortikosteroid-kortikosteroid memberi ketika metilprednisolon 125 mg melalui intra venus tiap-tiap 6 jam selama 72 jam, yang diikuti oleh sekali prednison oral sehari-hari (60mg 4 sampai 7hari, 40 mg selama 8 sampai 11 hari, 20mg selama 12 sampai 43 hari, 10 mg selama 44 sampai 50 hari, dan 5 mg selama  51 sampai 57). Kelompok yang kedua menerima suatu kursus 2 minggu memberi ketika metilprednisolon 125 mg melalui intra venus tiap-tiap 6 jam selama 72 jam, diikuti dengan prednison oral 60 mg pada 5 sampai 7 hari, 40 mg pada 8 sampai 11 hari, dan 20 mg pada 12 sampai 15 hari  dan plasebo selama 16 sampai 57 hari. Kelompok yang ketiga menerima plasebo untuk 57 hari dari studi. Rates dari korset rumah sakit dan kegagalan perawatan secara signifikan lebih tinggi di dalam plasebo menggolongkan dibanding di dalam salah satu kelompok perawatan pada 30 dan 90 hari. Kelompok-kelompok yang acak bagi perawatan kortikosteroid juga mempunyai jumlah yang mantap dari periode tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan kelompok plasebo.Pada  cara hidup8 minggu tidak ditemukan untuk lebih baik daripada untuk cara hidup 2 minggu. Manfaat-manfaat perawatan penting tidak lagi jelas pada 6 bulan. Davies dan colleagues mengevaluasi penggunaan dari kortikosteroid-kortikosteroid oral di dalam pasien-pasien yang diopname dengan eksaserbasi akut COPD. Pasien-pasien manapun yang menerima 30 mg/hari plasebo atau prednisolon oral selama 14 hari. Pasien-pasien yang diperlakukan dengan kortikosteroid-kortikosteroid mempunyai peningkatan dengan mantap lebih cepat di dalam FEV1 dan masa tinggal di rumah sakit lebih pendek dibanding pasien-pasien yang menerima plasebo. Tidak ada perbedaan penting antara kelompok-kelompok pada tindak lanjut 6 bulan. Secara keseluruhan, dari percobaan-percobaan ini dinyatakan bahwa pasien-pasien dengan eksaserbasi COPD akut perlu menerima terapi intra vena jangka pendek atau kortikosteroid oral. Bagaimanapun, oleh karena variabilitas besar di dalam rentang dosis, jangka waktu dan dosis optimal perawatan kortikosteroid mungkin tidak dikenal. Hal ini nampak pada kursus-kursus pendek (9 sampai 14 hari) adalah sama efektif terhadap kursus-kursus lebih panjang dan mempunyai satu resiko lebih rendah yang kurang baik yang dihubungkan dengan lebih sedikit waktu dari pengunjukan. Beberapa percobaan-percobaan menggunakan dosis awal yang tinggi dari steroid sebelum meruncingkam untuk satu dosis perawatan lebih rendah. Reaksi kurang baik seperti hiperglisemia, kesulitan untuk tidur, dan halusinasi-halusinasi boleh terjadi pada dosis-dosis lebih tinggi. Tergantung pada status klinis pasien, perawatan bisa diaktipkan pada dosis lebih rendah atau diruncingkan lebih dengan cepat jika hal ini terjadi. Jika perawatan steroid dilanjutkan untuk lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang  harus dilakukan menghindari  depresi hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA).

PENGOBATAN DENGAN ANTI MIKROBA

Eksaserbasi COPD Paling akut dipikirkan untuk disebabkan oleh karena virus atau infeksi/peradangan karena bakteri. Bagaimanapun, sebanyak 30% dari eksaserbasi mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang tak dikenal. Satu meta-analysis dari sembilan studi mengevaluasi efektivitas dari zat pembunuh kuman di dalam pengobatan eksaserbasi dari COPD  yang menentukan bahwa pasien-pasien yang menerima zat pembunuh kuman mempunyai peningkatan lebih besar di dalam laju alir ekspiratori puncak dibanding mereka yang tak  lakukan . Meta-analysis ini menyimpulkan bahwa zat pembunuh kuman kebanyakan bermanfaat dan harus diaktipkan jika sedikitnya dua di antara berikut tiga gejala hadir: ditingkatkannya dispnea, volume dahak yang ditingkatkan, dan ditingkatkan keadaan penuh dengan nanah dahak. Kegunaan Pewarna Gram dahak dan kultur diragukan sebab beberapa pasien mempunyai kolonisasi bakteri kronis pada batang tenggorokan selama periode eksaserbasi.
Kemunculan dari organisma-organisma resistan obat sudah mengamanatkan pemilihan antibiotik dengan bijaksana. Pemilihan anti mikroba empiris berdasarkan ilmu pengobatan harus didasarkan pada organisme hampir bisa dipastikan untuk bertanggung jawab pada infeksi/peradangan berdasar pada setiap profil pasien. Organisma-organisma paling umum untuk eksaserbasi akut manapun dari COPD adalah Hemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptokokus pneumoniae, dan Hemophilus parainfluenzae. Lebih bakteri ganas bisa hadir di pasien-pasien dengan eksaserbasi akut COPD lebih diperumit, termasuk pneumococci resistan obat, H. influenzae dan M. catarrhalis β-lactamase-producing, dan organisma-organisma gram-negatif saluran cerna, termasuk Pseudomonas aeruginosa. Tabel 27-14 meringkas ilmu pengobatan anti mikroba direkomendasikan untuk eksaserbasi dari COPD dan organisma-organisma paling umum berdasar pada tampilan pasien.

KESULITAN-KESULITAN

COR PULMONALE

Cor pulmonale adalah gagal jantung sekunder sebelah kanan sampai berkenaan dengan hipertensi  paru-paru . Diuretika dan  pengobatan oksigen jangka panjang telah menjadi arus utama dari pengobatan untuk cor pulmonale. Meningkatkan PaO2 di atas 60 mm Hg dengan  pengobatan oksigen bersifat tambahan berkurangnya hipertensi paru-paru dan dengan begitu berkurangnya kekuatan tekanan bilik kanan, sudahharus dilakukan . Selagi diuretika mungkin mengurangi kelebihan cairan , perhatian harus digunakan sebab pasien-pasien dengan kegagalan jantung  sangat dependen pada  preload untuk curah jantung. Oleh karena itu, keputusan untuk mengggunakan diuretika harus didasarkan pada satu resiko perbandingan manfaat. Glikosida-glikosida digitalis tidak punya peran di dalam perawatan cor pulmonale. Agen-agen pharmacologic lain yang telah diselidiki sampai suguhan cor pulmonale meliputi hydralazine,  kalsium chanel  blockers, angiotensin converting enzim, dan antagonis angiotensin II. Bagaimanapun, ada bukti yang tidak cukup untuk menawarkan petunjuk untuk peran dari agen-agen ini di dalam COPD pasien-pasien dengan cor pulmonale.

POLISITEMIA

Polisitemia sekunder sampai hypoxemia kronis di dalam pasien-pasien COPD dapat ditingkatkan oleh pengobatan oksigen atau phlebotomy berkala jika pengobatan oksigen sendirian tidak cukup. COT ditunjukkan oleh Nocturnal Oxygen Therapy untuk mengurangi nilai hematokrit pasien yang diperlakukan. Akut phlebotomy ditandai jika hematokrit adalah di atas 55% sampai 60% dan pasien sedang mengalami; sludging sugestifnya pada sistem saraf pusat dari kekentalan darah yang tinggi. Terapi oksigen jangka panjang kemudian dapat digunakan untuk memelihara satu hematokrit lebih rendah.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN PHARMACOLOGIC LAIN

Sejumlah perawatan-perawatan lain telah diselidiki dari tahun ke tahun. Dari antara pengobatan, ada salah satu bukti yang tidak cukup untuk menjamin merekomendasikan penggunaan mereka, atau mereka telah terbukti tidak menguntungkan di dalam manajemen COPD. Satu ringkasan ringkas disajikan sebab clinician mungkin akan menghadapi pasien-pasien yang sedang menerima atau menanyakan sekitar perawatan-perawatan ini.

AGEN-AGEN anti mikroba Suppresive

Sebab COPD pasien-pasien sering mempunyai pengalaman dan relief bakteri eksaserbasi pada  kondisi mereka, satu praktek umum di masa  lalu telah terjadi penggunaan dari dosis rendah anti mikroba dalam  pengobatan dan  pencegah atau perlindungan dari penyakit melawan eksaserbasi akut ini. Bagaimanapun, studi-studi klinis di atas masa lampau 40 tahun sudah gagal dalam mempertunjukkan manfaat dari terapi ini  Peran dari anti mikroba dalam pengobatan eksaserbasi akut yang dibatasi pada kriteria temuan spesifik COPD.

OBAT UNTUK MENGELUARKAN DAHAK DAN MUCOLITIC

Masukan air cukup secara umum adalah bisa diterima untuk  memelihara hidrasi dan membantu di dalam kepindahan dari bagian-bagian saluran udara. Di luar ini, penggunaan regular dari mucolytics atau obat untuk mengeluarkan dahak untuk pasien-pasien COPD tidak terbukti efektif.Ini meliputi penggunaan dari larutan jenuh kalium iodid, amonium klorida, acetylcysteine, dan guaifenesin.

STIMULAN-STIMULAN PERNAPASAN

Tidak ada peran untuk perangsang napas di dalam manajemen jangka panjang dari COPD. Agen-agen yang sudah menunjukkan beberapa kegunaan di dalam pengaturan akut meliputi amiltrine dan doksapram. Bagaimanapun, amiltrine ada tersedia hanya di dalam Europe, dan kegunaan nya dibatasi oleh neurotoksisitas. Doksapram ada tersedia untuk yang kedalam pembuluh darah gunakanlah hanya dan bisa tidak ada lebih baik dibanding NPPV yang terputus-putus.

INTERVENSI BERHUBUNGAN DENGAN PEMBEDAHAN

Percobaan-percobaan terbaru sudah mengevaluasi efek dari lung volume reduction surgery (LVRS) bagi manajemen COPD parah. Percobaan-percobaan jangka pendek membandingkan laju dari rehabilitasi berkenaan dengan paru-paru LVRS lebih baik dari rehabilitasi berkenaan dengan paru-paru sendirian dan dilaporkan bahwa kombinasi dari perawatan-perawatan menimbulkan peningkatan-peningkatan lebih besar di dalam fungsi paru-paru,pertukaran gas, dan mutu hidup pada 3 bulan.
Baru-baru ini saja data yang mengevaluasi efek jangka panjang dari rehabilitasi LVRS sudah diterbitkan. The National Emphysema Treat trial (NETT), dengan percobaan acak  mengevaluasi efek jangka panjang dari rehabilitasi LVRS plus rehabilitasi paru-paru dibandingkan dengan tritment  paru-paru sendirian, diikuti 1218 pasien selama 3 tahun. Titik utama studi adalah angka kematian dan kapasitas latihan maksimal 2 tahun setelah pengacakan. Titik sekunder mencakup fungsi berkenaan dengan paru-paru, jarak berjalan di 6 menit, dan pengukuran quality-of-life. Pada satu analisa sementara, pasien-pasien dengan satu FEV1 dari kurang dari 20% dari yang diramalkan atau satu karbon monoksid yang menghamburkan kapasitas kurang dari 20% dari yang diramalkan dicatat untuk pada resiko tinggi dari kematian setelah perawatan dan sesudah itu dikeluarkan dari studi. Hasil-hasil studi menunjukkan tidak ada manfaat dalam angka kematian dengan LVRS bandingkan dengan rehabilitasi berkenaan dengan paru-paru sendirian. Pasien-pasien mengalami perawatan telah meningkatkan kapasitas latihan, fungsi paru-paru, dan mutu hidup pada 2 tahun, tetapi pasien-pasien ini juga mempunyai satu resiko lebih tinggi dari angka kematian dan keadaan tidak sehat jangka pendek berhubungan dengan perawatan.
Satu analisa bagian jenis studi mencatat bahwa pasien-pasien dengan emfisema lobus predominan bagian atas dan kapasitas latihan rendah yang mengalami perawatan mempunyai tingkat kematian lebih rendah pada 2 tahun bandingkan dengan pasien-pasien pengobatan medis yang diperlakukan dengan sendirian. Oleh karena resiko-resiko dan biaya-biaya dihubungkan dengan LVRS, lebih banyak studi-studi lebih baik yang diperlukan untuk menentukan pasien berhubungan dengan pembedahan ideal dan mengidentifikasi sub-sub kelompok dari pasien-pasien itu apakah bermanfaat bagi dari pembedahan.

PELENGKAP DIET

Telah ada meningkatkan minat akan peran dari antioksidan, termasuk vitamin-vitamin E dan C dan β-karoten, di dalam mengurangi frekwensi dari eksaserbasi. Itu didalilkan bahwa mereka bisa menguntungkan di dalam COPD sebagai satu hasil dari suatu ketidak seimbangan antara antioksidan-antioksidan dan oksidan-oksidan yang sudah dipertimbangkan di dalam patogenesis tentang merokok yang menyebabkan penyakit paru-paru.
Bagaimanapun, tidak ada bukt pengobatan antioksidan itu baik meningkatkan gejala-gejala COPD atau kemajuan penyakit yang lambat.

INVESTIGASI  PENGOBATAN

Berdasarkan pengetahuan sekitar pentingnya radang neutrophilic di dalam COPD dan manfaat potensial dari penghambatan aktivitas neutrofili, sejumlah campuran-campuran anti-intlamasi sedang diselidiki. Secara rinci, agen-agen yang menghambat leukotriena B4, neutrofili elastase, dan fosfodiesterase-fosfodiesterase sekarang ini dievaluasi. Sampai waktu  studi-studi yang mengevaluasi leukotriena yang memodifikasi pengobatan telah mengecewakan. Studi-studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi manfaat klinis dari penghambat-penghambat seperti itu di dalam pasien-pasien dengan COPD.
Fosfodiesterase 4 (PDE4) adalah fosfodiesterase utama yang ditemukan di dalam sel-sel otot polos saluran udara dan sel-sel penyebab radang dan adalah aktivitas yang bertanggung jawab untuk menurunkan cAMP. Penghambatan PDE4 mengakibatkan relaksasi dari sel-sel otot polos saluran udara dan aktivitas mediator penyebab radang seperti TNF-α dan IL-8 dikurangi. Dua penghambat
PDE4 sudah mencapai uji klinis, cilomilast dan roflumilast. Cilomilast telah dievaluasi di dalam beberapa percobaan-percobaan manusia dan sudah ditunjukkan untuk meningkatkan aliran udara ekspiratori seperti yang terukur oleh FEV1 di dalam pasien-pasien dengan COPD bila yang diberi pada satu dosis dari 15 mg dua kali sehari-hari untuk 6 minggu. Studi-studi masa depan dari cilomilast perlu mengevaluasi di hasil-hasil klinis lain seperti status kesehatan, frekwensi eksaserbasi, dan kemajuan penyakit.
Elastase neutrofili adalah mencakup di dalam induksi bronchial penyakit, menyebabkan perubahan-perubahan struktural di dalam paru-paru, pemeriksaan perusakan mucociliary, dan perusakan pertahanan tuan rumah. Penghambat-penghambat protease, yakni, penghambat-penghambat dari elastase neutrofili, diselidiki sekarang ini karena perawatan COPD.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMIK

Keseluruhan ongkos pengobatan adalah satu pertimbangan penting dalam praktek medis di jaman ini . Hakikat  analisis biaya melampaui ongkos pengobatan sendiri dan menyertakan dampak dari
agen pengobatan di keseluruhan biaya pelayanan kesehatan . Oleh karena ketiadaan manfaat antar hasil objektif yang terukur di dalam uji klinis COPD , studi-studi farmakoekonomik dapat bermanfaat di dalam membuat keputusan sekitar pilihan-pilihan pharmacotherapy. Analisis farmakoekonomik di dalam COPD, walaupun terbatas, tersedia mengenai penggunaan antibiotik di dalam eksaserbasi akut dan beberapa pengobatan bagi manajemen kronis COPD stabil. Grossman dan colleagues, menyelenggarakan satu percobaan menyelidiki penggunaan dari pengobatan anti mikroba agresif (ciprofloxacin) yang dibandingkan dengan pengobatan antibiotik umum (yang digambarkan sebagai nonquinolone) di dalam perawatan dari eksaserbasi akut COPD. Keseluruhan, hasil-hasil menandai
tidak ada pilihan untuk salah satu perihal perawatan. Bagaimanapun, pada pasien-pasien yang
digolongkan sama resiko tinggi (penyakit paru-paru dasar akut, lebih dibanding empat eksaserbasi per tahun, jangka waktu bronkitis lebih besar dari 10 tahun, lanjut usia, penyakit comorbid penting), penggunaan agresif antibiotik  dalam pengobatan dihubungkan dengan hasil klinis yang ditingkatkan, mutu lebih tinggi hidup, dan lebih sedikit biaya-biaya. Hasil-hasil dari studi ini adalah konsisten dengan Tabel 27-14, yang menyatakan bahwa pasien-pasien resiko lebih tinggi mungkin mempunyai dari organisma-organisma yang resisten dan dengan begitu memerlukan perawatan lebih anti mikroba agresif. Friedman dan colleagues menyelenggarakan satu post hoc evaluasi farmakoekonomik
dari dua multicenter, percobaan-percobaan random yang membandingkan kombinasi ipratropium dan albuterol dengan menggunakan obat kedua-duanya sebagai monotherapy. Pasien-pasien yang menerima satu kombinasi ipratropium dan albuterol mempunyai laju lebih rendah dari eksaserbasi, menurunkan keseluruhan biaya-biaya perawatan , dan dibandingkan denganobat tunggal  hemat biaya yang manapun. Dengan pengenalan tentang pengobatan bronchodilator baru, dan dengan tidak ada keuntungan yang konsisten dari satu kelas dari agen-agen di atas dibandingkan yang lain, analisis farmakoekonomik bisa bermanfaat untuk clinicians di dalam menentukan pengobatan paling sesuai untuk pasien-pasien mereka.

Kontroversi-kontroversi klinis

Albuterol adalah salah satu dari pengobatan paling umum digunakan  di dalam Amerika Serikat. Albuterol adalah satu 50/50 campuran rasem dari (R)-albuterol dan (S)-albuterol, dengan R)-isomer bertanggung jawab atas semua efek terapeutik. Satu produk isometri tunggal, levalbuterol, mengaku keunggulan klinis yang didasarkan pada ketidakhadiran S)-isomer, yang mungkin punya efek merugikan di dalam saluran udara dan efek berlawanan di isometri aktip. Bagaimanapun, biaya pemerolehan levalbuterol adalah lebih tinggi dibanding dari albuterol umum. Keuntungan-keuntungan tentang menggunakan produk single isomer di dalam praktek klinis adalah tidak jelas.
Satu produk kombinasi beta agonist inhalasi (salmeterol) dan kortikosteroid inhalasi (fluticason) adalah salah satu dari obat yang paling banyak diresepkan untuk penyakit paru-paru, termasuk COPD. Bagaimanapun, di dalam petunjuk ahli,  kortikosteroid-kortikosteroid inhalasi ditandai hanya untuk pasien-pasien dengan penyakit lebih akut yang mengalami eksaserbasi sering.
Banyak pasien-pasien sekarang menerima pengobatan dengan kombinasi mungkin akan diberikan bronkodilator tunggal.
Peran dari kortikosteroid-kortikosteroid sistemik untuk eksaserbasi akut of COPD telah diperjelas di tahun terakhir ini. Bagaimanapun regimen dosis utama, tidak ditegakkan. Regimen untuk dosis permulaan yang tinggi  (metilprednisolon 125 mg tiap-tiap 6 jam) sampai dosing lebih konservatif (prednison 40-60 mg/day). Petunjuk konsensus menunjukkan bahwa pengobatan bronchodilator
adalah fokus dari pharmacotherapy untuk COPD. Bagaimanapun, tidak ada pilihan jelas untuk agen permulaan. Karena pasien-pasien dengan sehari-hari tetapi bukan gejala-gejala menetap, ditawarkan dengan ipratropium atau albuterol pada pengobatan yang awal. Kedua-duanya juga mempunyai keterbatasan jika yang dipilih ketika pengobatan awal.




EVALUASI HASIL TERAPI

Untuk mengevaluasi hasil-hasil terapi COPD secara efektif, praktisi  pertama harus memisahkan antara COPD stabil kronis dan akut eksaserbasi. Di dalam COPD stabil kronis, fungsi berkenaan dengan paru-paru harus diuji pada waktu tertentu dan dengan penambahan terapi apapun ,mengubah  dosis, atau meniadakan pengobatan. Sebab peningkatan-peningkatan objektif sering kali minimal. Parameter-parameter hasil lain yang biasanya dievaluasi, termasuk skor dispnea , penilaian-penilaian qualityof-life, dan laju exaserbasi, termasuk kunjungan-kunjungan untuk departemen keadaan darurat atau opname. Di dalam eksaserbasi akut COPD, bilangan sel darah putih, tanda-tanda penting, sinar x dada, dan perubahan di dalam frekwensi dari dispnea, volume dahak, dan keadaan penuh dengan nanah dan dahak perlu ditaksir pada serangan dan sepanjang perawatan dari suatu eksaserbasi.
Di dalam eksaserbasi lebih akut, ABGs dan penjenuhan oksigen juga harus dimonitor. Ketika dengan menggunakan terapi obat manapun, kesetiaan pasien sampai panduan terapeutik, efek samping, interaksi obat potensial, dan ukuran-ukuran subjektif dari mutu hidup juga harus dievaluasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar