Senin, 11 April 2011

STANDARDISASI EKSTRAK KULIT KACANG TANAH


I. PENDAHULUAN
          Tanaman  kacang tanah (Arachis hypogea L.) merupakan salah satu jenis  tanaman pertanian yang tersebar luas dan ditanam di Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman serbaguna karena hampir semua bagiannya digunakan untuk berbagai keperluan manusia. Produk utamanya adalah biji yang digunakan sebagai bahan makanan, selai kacang, serta diambil minyaknya untuk minyak goreng dan pembuatan sabun. Daun dan batang segar dari tanaman ini digunakan sebagai makanan ternak (Sumarno, 1986).
Salah satu bagian dari kacang tanah yang belum banyak dimanfaatkan adalah kulitnya, saat ini kulit kacang tanah hanya digunakan untuk bahan bakar dan sebagian besar hanya menjadi sampah (Sumarno, 1986). Sedangkan di Cina ekstrak kulit kacang tanah produksi secara besar-besaran oleh salah satu perusahaan,  yang dalam satu bulan dapat menghasilkan 8.000 kg  ekstrak kulit kacang tanah (Hongyuan, 2010).
Dari peneliti terdahulu, telah diisolasi bahwa ekstrak kulit kacang tanah mengandung senyawa luteolin (Noor, 1998). Luteolin mempunyai aktifitas biologis sebagai antioksidan, antihistamin, antiinflamasi, antikanker, dan menghambat biosintesis kolesterol (Lopes, 2009 ; Hembing, 1995).






Dalam rangka meningkatkan mutu, keamanan, dan kemanfaatan obat bahan alam. Salah satu langkah yang dilakukan adalah standardisasi bahan baku yang digunakan dalam produksi obat tradisional, termasuk standardisasi ekstrak (Depkes RI, 2000).
Pada penelitian ini dilakukan standaridisasi ekstrak kulit kacang tanah dengan menentukan parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu yang larut asam, dan kadar abu yang tidak larut asam. Serta parameter spesifik yaitu kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, pola kromatogram, dan kadar total kandungan kimia, serta dilakukan juga isolasi terhadap ekstrak kulit kacang tanah untuk mendapat senyawa identitas luteolin.


















II.                TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Tanaman Arachis hypogea L
2.1.1    Klasifikasi
Tanaman Arachis hypogaea L diklasifikasi sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisi               : Tracheophyta
Kelas               : Magnoliophyta
Ordo                : Fabales
Famili              : Fabaceae
Tribe                : Aeschynomeneae
Genus              : Arachis
Spesies            : Arachis hypogaea

2.1.2    Morfologi
Tanaman kacang tanah berbatang jenis perdu tidak berkayu, tipe pertumbuhan tegak mendatar. Tipe pertumbuhan tegak dengan tinggi rata-rata 33-50 cm. Dari batang utama timbul cabang 3-6 cabang primer. Mempunyai akar tunggang, akar-akar cabang terletak tegak lurus pada akar primer, akar cabang mempunyai akar-akar yang bersifat sementara, akar tumbuh sedalam 40 cm, pada akar terdapat bintil-bintil atau nodul yang berisi bakteri Rizobium japonicum. Daun berupa daun majemuk bersirip genap, setiap helai daun terdiri 4 helai anak daun dan permukaan daun sedikit berbulu.
Bunga berbentuk kupu-kupu, berwarna kuning atau kuning kemerahan, bunga muncul pada ketiak daun, setiap bunga mempunyai tangkai panjang berwarna putih, yang merupakan tabung kelopak, bagian mahkota bunga berwarna kuning, standar mahkota bunga pada bagian pangkal bergaris merah atau merah tua, sedangkan benang sari setukal (monodelphus). Bakal buah terletak didalam (interior) tepatnya pada pangkal kelopak bunga disetiap daun. Buah disebut polong, besar kecil polong bervariasi ukurannya dari 1 x 0,5 cm sampai 6 x  0,5 cm, disetiap polong berisi 1-5 biji, umumnya 2-3 biji perpolong, bentuk polong berujung tumpul dan ada yang runcing, bagian polong antar dua biji dapat berbentuk pinggang atau tanpa pinggang, rata-rata polong perpohon pada pertumbuhan normal 15 polong perpohon ( Kanisius, 1997; Sumarno, 1986).

2.1.3   Kandungan Kimia
Tanaman kacang tanah mengandung berbagai jenis senyawa kimia bioaktif yang berguna antara lain: eriodiktiol, triterpen, steroid, fenilpropanoid, kumarin (skopoletin), dan flavonoid ( luteolin).







2.1.4    Senyawa Identitas (Luteolin)
Luteolin merupakan salah satu flavon yang umum dijumpai. Luteolin (C15H10O6) mempunyai berat molekul 286,23. Nama lainya adalah 2-(3,4-dihydroxyphenyl)- 5,7-dihydroxy-4-chromenone, digitoflavon, luteolol, flacitran, dan sianidenon. Luteolin merupakan serbuk  berwarna kuning yang larut dalam air dan etanol. Mempunyai titik leleh 254-256˚C (Wikipedia, 2010). Luteolin mempunyai aktivitas biologis sebagai antioksidan, antihistamin, antiinflamasi, antikanker, dan menghambat biosintesis kolesterol (Lopes, 2009).
Senyawa dan Rumus Bangun
Gambar 1. Struktur senyawa identitas luteolin

2.2       Ekstrak
2.2.1    Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
2.2.2    Faktor yang Mempengaruhi Mutu Ekstrak
2.2.2.1 Faktor Biologi
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obat dan khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi, baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) yang meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Jenis (spesies) : sangat penting diketahui untuk penetapan jenis dalam klasifikasi botani terutama untuk tumbuhan yang memiliki beberapa nama daerah karena berpengaruh pada kandungan senyawa aktif tumbuhan dan juga hasil ekstraksi.
2. Lokasi tumbuhan asal : lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi dengan energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air, senyawa organik, dan anorganik).
3. Periode pemanenan hasil tumbuhan : faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga menentukan kandungan senyawa. Kapan kandungan senyawa mencapai kadar optimal dari proses biosintesis dan sebaliknya kapan sebelum senyawa tersebut dikonversi atau biotransformasi serta dibiodegradasi menjadi senyawa lain.
4. Penyimpanan bahan tumbuhan : merupakan faktor eksternal yang diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi bakteri (biotik dan abiotik).
5. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
2.2.2.2 Faktor Kimia
            Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obat dan khusus dipandang dari segi kimianya. Faktor kimia meliputi :
     1. Faktor internal meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif serta kadar total rata-rata senyawa aktif.
     2. Faktor eksternal meliputi metode eksternal, perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat), ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi, kandungan logam berat serta kandungan pestisida (Depkes RI, 2000).

2.2.3    Proses Pembuatan Ekstrak
2.2.3.1 Pembuatan Serbuk Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk kering. Dari simplisia dibuat serbuk sampai derajat kehalusan tertentu dengan menggunakan peralatan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar :
1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit pula secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi.
   2. Selama penggunaan alat penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi dengan benda keras (logam) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada kandungan senyawa simplisia.
2.2.3.2 Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang (optimal) untuk kandungan senyawa yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari kandungan senyawa lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar kandungan senyawa yang diinginkan. Dalam hal ini cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung.
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah sebagai berikut :
1. Selektifitas
2. Ekonomis
3. Ramah lingkungan
4. Keamanan
Pada prinsipnya cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”.
 
2.2.3.3 Separasi dan Pemurnian
Tujuan dari tahapan ini menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tidak tercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorpsi, dan penukar ion.

2.2.3.4 Pemekatan / Penguapan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah parsial solut (senyawa terlarut) dengan penguapan pelarut sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi kental atau pekat.
2.2.3.5 Pengeringan Ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan.
2.2.3.6 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal (Depkes RI, 2000).

2.2.4    Metoda Ekstraksi
2.2.4.1 Cara Dingin
a. Maserasi
            Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengandukan pada temperatur kamar.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perkolasi (penetesan dan penampungan ekstrak), sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 
2.2.4.2 Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses residu pertama sampai 3-5 kali sehingga ekstraksi sempurna.
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50˚C.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur 96-98˚C) selama waktu tertentu.
e. Dekokta
Dekokta adalah infus dengan waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).


2.3       Standardisasi Ekstrak
Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu dalam artian memenuhi syarat standar,  termasuk jaminan stabilitas sebagai produk kefarmasian. Standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan.
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Sebagai bahan awal dianalogkan sebagai komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diolah menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak berada dalam sedian obat dan siap digunakan oleh penderita. Jadi untuk memperoleh produk yang terstandar maka bahan dan prosesnya harus terstandar (Depkes RI, 2000).







2.3.1    Parameter Non Spesifik
2.3.1.1 Susut Pengeringan
Merupakan pengukuran sisa zat setelah mengalami pengeringan pada temperatur 105˚C sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap maka identik dengan kadar air yaitu kandungan air karena berada pada lingkungan terbuka (Depkes RI, 2000).
2.3.1.2 Kadar Abu
Prinsip penentuan parameter kadar abu adalah pemanasan bahan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal oksida logam. Tujuan penentuan paramater ini adalah membersihkan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuk ekstrak sehingga dapat menetapkan tingkat pengotoran suatu bahan oleh logam dan silikat.
Kadar abu dibagi atas 3 macam :
1.      Kadar abu total untuk menentukan abu fisiologis dari tumbuhan itu sendiri dan abu non fisiologis dari logam alkali, serta logam berat.
2.      Kadar abu larut asam untuk menentukan abu yang terlarut dalam asam, seperti logam Mg, Hg, dll.
3.      Kadar abu tidak larut asam untuk menentukan abu yang berasal dari pasir dan tanah (Depkes RI, 2000).


2.3.2    Parameter Spesifik
2.3.2.1 Kadar Senyawa Larut dalam Pelarut Air dan Etanol
Parameter ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak dalam pelarut etanol dan air untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah kandungan senyawa secara gravimetri, sehingga dapat memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa (Depkes RI, 2000).
2.3.2.2 Pola Kromatogram
            Umumnya dibuat kromatogram pada lempeng silika gel dengan berbagai jenis fase gerak yang sesuai dengan golongan kandungan kimia sasaran analisis. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi penampak noda yang sesuai dengan kandungan senyawa identitas atau dengan adsorpsi-refleksi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan komponen yang diketahui (Depkes RI, 2000).  
2.3.2.3 Kadar Flavonoid Total
            Parameter flavonoid total dilakukan pengukuran spektrofotometri UV dengan mereaksikan almunium klorida dan natrium asetat yang selektif dengan penambahan aqua dest pada panjang gelombang tertentu (Depkes RI, 2000).








III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1.       Waktu dan Tempat Penelitian
            Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2010, di Laboratorium Biota Sumatera, Universitas Andalas, Padang dan Laboratorium Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Bhakti Pertiwi, Palembang.

3.2.         Metodologi Penelitian
3.2.1    Alat
            Mesin penggiling, seperangkat alat destilasi, rotary evaporator, penangas air, cawan penguap, krus silika, tang krus, oven, desikator, furnace, gelas ukur, vial, pipet kapiler, pinset, chamber, pipet tetes, corong, erlenmeyer, beaker glass, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur, kertas saring, kertas saring bebas abu, kapas, sanikator, spatel, timbangan analitik, alumunium foil, labu ukur, hot plate, lampu UV365 nm,  plat KLT silika gel 60 F254, spektrofotometer UV, dan spektrofotometer IR.

3.2.2    Bahan
            Kulit kacang tanah 3 kg, luteolin, etanol 96 %, etanol 70 %, metanol, aqua dest, asam sulfat, asam klorida encer P, asam asetat 30 %, kloroform, etil asetat, heksan, silika gel, pereaksi neu (diphenylboric acid 2-aminoethyl ester), almunium klorida 10 %, dan natrium asetat (1M).

3.3              Prosedur Penelitian
3.3.1        Pengambilan dan Pengolahan Sampel
            Pengambilan dan pengumpulan kulit kacang tanah dilakukan di Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Propinsi Sumatera Selatan. Kulit kacang tanah dikeringkan kemudian diserbuk dengan mesin penghalus.

3.3.2        Metode Pembuatan Ekstrak
Ekstrak dibuat dengan cara maserasi dengan menggunakan  pelarut etanol 70%. Sebanyak 3 kg serbuk kering kulit kacang tanah dibagih menjadi 3 bagian, tiap bagian ditambah 5 L etanol 70%, rendam selama 6 jam sambil sesekali diaduk, kemudian biarkan selama 24 jam. Maserat ditampung dan proses diulangi dua kali lagi dengan cara yang sama. Hasil gabungan maserat disaring dan dipekatkan in vacuo sampai kental. Ekstrak kental dipindahkan ke cawan penguap dan sisa pelarut diuapkan di atas penangas air. Ekstrak kental kemudian ditimbang.








3.3.3        Penetapan Bilangan Parameter Non Spesifik
3.3.3.1     Susut Pengeringan
Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 2 g dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Ekstrak kental diratakan dengan bantuan pengaduk, kemudian dimasukkan kedalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 105˚C hingga bobot tetap. Sebelum setiap penimbangan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu kamar.
3.3.3.2     Kadar Abu Total
                Lebih kurang 2 g ekstrak ditimbang seksama, dimasukkan kedalam krus yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.3.3.3                                          Kadar Abu yang Larut Asam
   Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 mL asam sulfat encer P selama 5 menit, saring melalui kertas saring bebas abu, kumpulkan bagian yang larut asam dalam cawan penguap dan uapkan. Hitung kadar abu yang larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.3.3.4                                          Kadar Abu yang Tidak Larut Asam
Abu yang telah disaring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, pijarkan kertas saring bersama sisa abu dalam krus yang sama hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.3.4     Penetapan Bilangan Parameter Spesifik

3.3.4.1 Kadar Sari Larut Air
            Maserasi sejumlah 5 g ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air kloroform P menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian  biarkan selama 18 jam. Saring dan uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara, panaskan residu pada 105oC hingga bobot tetap. Hitung kadar ekstrak dalam persen terhadap ekstrak awal.
3.3.4.2 Kadar Sari larut Etanol
              Maserasi sejumlah 5 g ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml etanol (70%) menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian  biarkan selama 18 jam. Saring dan uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara, panaskan residu pada 105oC hingga bobot tetap. Hitung kadar ekstrak dalam persen terhadap ekstrak awal.







3.3.4.3  Profil KLT
            Ekstrak ditimbang sebanyak 100 mg, dilarutkan dalam 10 ml metanol, kemudian pengujian dilakukan dengan KLT terhadap senyawa identitas (luteolin).
Fase diam
:
Silika gel 60 F254
Fase gerak
:
Etil asetat - Kloroform (6:4)
Senyawa identitas
Deteksi
:
:
Luteolin
UV365 nm dan Pereaksi Neu (Diphenylboric acid 2-Aminoethyl ester)
Konsentrasi ekstrak
:
0,1%
Volume penotolan
:
5 µL
Jarak rambat

:



8      Cm






















3.3.4.4  Kadar Total Kandungan Kimia
A. Penetapan flavonoid total
Timbang dengan seksama 10 mg ekstrak kulit kacang tanah dan larutkan dalam metanol 10 ml sehingga didapat kadar ekstrak 1 mg/ml. Pada tabung pereaksi campurkan secara terpisah 0,5 mL ekstrak dan encerkan dengan 1,5 mL metanol. Pada bagian lain, campurkan 0,1 mL aluminium klorida 10% dan 0,1 mL natrium asetat (1M) dan 2,8 mL air suling. Campur kedua bagian dan biarkan bereaksi selama 30 menit pada suhu ruangan. Ukur absorban pada 415 nm dan lakukan blangko tanpa penambahan ekstrak. Buat perhitungan rata-rata tiga kali pengukuran dan kandungan flavonoid dinyatakan dengan kesetaraan pembanding baku luteolin.

B. Pembuatan larutan baku pembanding luteolin
Timbang dengan seksama 10 mg luteolin baku dan larutkan dalam metanol 10 ml sehingga didapatkan kadar larutan induk 1 mg/mL. Buat pengenceran dengan bantuan mikropipet sejumlah 1,0; 0,8; 0,6; 0,4; 0,2; 0,1 dan 0,05 mL larutan induk baku pembanding, tambahkan metanol hingga 10 ml.  Pipet masing-masing 2 mL dan tambahkan pereaksi; 0,1 mL aluminium klorida 10%, 0,1 mL natrium asetat (1M) dan 2,8 mL air suling. Kocok dengan baik dan biarkan bereaksi selama 30 menit pada suhu ruangan. Ukur absorban pada 415 nm, lakukan blanko tanpa penambahan luteolin.


3.3.5    Isolasi Senyawa Identitas
Untuk mendapat senyawa identitas luteolin, ekstrak kental kulit kacang tanah dilewatkan pada kolom kromatografi menggunakan silika gel sebagai fase diam dan elusi dilakukan secara isokratik menggunakan pelarut etil asetat - kloroform (6:4) sebagai fase gerak. Tiap-tiap fraksi yang keluar ditampung dalam vial 10 ml, lalu masing-masing dimonitor dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan eluen etil asetat - kloroform (6:4) fraksi dengan Rf sama digabung. Uapkan dan rekristalisasi untuk mendapat kristal senyawa murni. Kemudian untuk pemastian senyawa identitas luteolin dilakukan dengan spektrum UV dan spektrum IR.

















IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1    Hasil
1.  Rendemen yang didapat dari ekstraksi kulit kacang tanah adalah 3,01 % ± 0,05.
2.  Susut pengeringan ekstrak yang didapat adalah 15,14 % ± 1,88.
3.  Kadar abu total yang didapat adalah 10,14 % ± 0,31, dan kadar abu larut asam adalah 8,50 % ± 0,32, serta kadar abu tidak larut asam adalah 1,64 % ± 0,07.
4.  Kadar senyawa yang larut dalam air didapat adalah 51,36 % ± 1,85.
5.  Kadar senyawa yang larut dalam etanol didapat adalah 64,49 % ± 1,41.
6.  Pemeriksaan kromatografi lapis tipis dari ekstrak dengan menggunakan eluen etil asetat - kloroform (6:4) diperoleh Rf 0,16 ; 0,44 ; 0,65 ; 0,80 ; dan Rf pembanding (luteolin) 0,44.
7.  Kadar senyawa luteolin dari ekstrak yang didapat adalah 5,46 % ± 0,25.
 









4.2    Pembahasan
         Pada penelitian ini digunakan sampel berupa kulit kacang tanah kering, proses pengeringan bertujuan untuk menghilangkan air yang terdapat pada sampel, agar terhindar dari proses penjamuran, reaksi-reaksi kimia, dan berbagai kemungkinan yang dapat merubah komposisi dari kulit kacang tanah. Kulit kacang tanah kemudian dihaluskan dengan mesin penggiling yang bertujuan supaya permukaan simplisia lebih luas sehingga mempermudah penetrasi pelarut ke dalam sel.
         Proses ekstraksi dilakukan menggunakan metoda maserasi dengan pelarut etanol 70 %. Maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi yang mudah dan sederhana serta dapat digunakan untuk kulit kacang tanah yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan pemanasan. Pelarut yang digunakan adalah etanol karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar, semi polar, dan non polar. Digunakan etanol 70 % karena sampel kulit kacang tanah berupa sampel kering, adanya air diperlukan agar sel-selnya dapat mengembang sehingga pelarut mudah   masuk ke dalam sel.
         Penguapan pelarut dilakukan secara in vacuo untuk menurunkan titik didih pelarut sehingga proses penguapan lebih cepat dan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak tidak rusak. Rendemen yang diperoleh tidak terlampau tinggi (3,01% ±  0,05), karena sampel yang digunakan adalah kulit kacang tanah yang banyak mengandung serat.

         Setelah didapatkan ekstrak kental dilakukan penetapan standar mutu dan kandungan kimia ekstrak. Penetapan mutu ekstrak yaitu parameter non spesifik meliputi susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu larut asam, dan kadar abu tidak larut asam, serta parameter spesifik meliputi kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, pola KLT, dan penetapan kadar. Standardisasi ini dimaksudkan agar dapat menjamin bahwa produk ekstrak mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan.
         Susut pengeringan ditentukan untuk menjaga kualitas ekstrak, yang berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya jamur pada ekstrak. Susut pengeringan yang didapat adalah 15,15 % ± 1,88 ini menunjukkan bahwa susut pengeringan ekstrak kulit kacang tanah tidak terlampau tinggi.
         Pemeriksaan kadar abu total dilakukan dengan alat furnace, ekstrak dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap, sehingga tinggal oksida logam. Kadar abu total yang didapat cukup tinggi (10,14 % ± 0,31). Abu yang didapat merupakan sisa senyawa oksida logam yang terkandung didalam ekstrak. Untuk kadar abu yang larut asam didapat 8,50 % ± 0,32, merupakan oksida logam yang terlarut dalam asam seperti logam Mg, logam Hg dll. Sedangkan kadar abu yang tidak larut asam yang didapat adalah 1,64 % ± 0,07, yang bersumber dari faktor eksternal seperti pasir dari tanah dan debu yang melekat pada waktu pengeringan ataupun dari internal berupa mineral-mineral yang diserap akar tanaman.


         Parameter kadar senyawa yang terlarut dalam air dan etanol merupakan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa yang dikandung ekstrak. Kadar senyawa yang terlarut dalam air yang didapat adalah 51.36 % ± 1,85. Dan kadar senyawa yang larut dalam etanol yang didapat adalah 64,49 % ± 1,41. Ini berarti ekstrak lebih banyak terlarut dalam etanol dibandingkan dalam air, karena dalam ekstrak etanol terdapat senyawa polar maupun non polar.
         Untuk profil KLT dan penetapan kadar kandungan kimia digunakan senyawa identitas luteolin. Karena pada laboratorium senyawa pembanding luteolin tidak ada maka dilakukan isolasi luteolin dari ekstrak kulit kacang tanah. Ekstrak kental kulit kacang tanah dilewatkan pada kolom kromatografi menggunakan silika gel sebagai fase diam dan elusi dilakukan secara isokratik menggunakan pelarut etil asetat - kloroform (6:4) sebagai fase gerak berdasarkan orientasi sebelumnya dengan KLT. Untuk memastikan senyawa identitas luteolin dilakukan dengan spektrum UV dan spektrum IR.
         Uji kandungan kimia ekstrak bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan profil KLT dari ekstrak. Dari KLT menggunakan eluen etil asetat - kloroform (6:4) didapatkan Rf 0,44 yang sama dengan senyawa pembanding luteolin, serta bercak senyawa lain dengan harga Rf 0,14 ; 0,65 ; 0,80.
         Penetapan kadar ekstrak bertujuan untuk melihat berapa banyaknya kadar senyawa luteolin yang terdapat didalam ekstrak. Penetapan kadar ekstrak dilakukan dengan mengunakan metoda spektrofotomertri UV. Dan kadar luteolin yang terdapat pada ekstrak kulit kacang tanah adalah 5,46 % ± 0,25.         
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1    Kesimpulan
         Dari penelitian ini disimpulkan bahwa, bilangan parameter standar ekstrak untuk kulit kacang tanah yang diusulkan adalah : parameter spesifik adalah kadar senyawa identitas (luteolin) dalam ekstrak tidak kurang dari 5,46 %; kadar senyawa larut dalam air tidak kurang dari 51,36 %; kadar senyawa larut dalam etanol tidak kurang dari 64,49 %. dan parameter non spesifik adalah rendemen ekstrak tidak lebih dari 3,01 %;  susut pengeringan tidak lebih dari 15,15 %; kadar abu total  tidak lebih  dari  10,14 %; kadar abu larut asam tidak lebih dari 8,50 %; dan kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 1,64 %. 

5.2    Saran
         Disarankan untuk peneliti selanjutnya untuk melakukan standardisasi ekstrak kulit kacang tanah dari berbagai daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar