Sabtu, 30 Juni 2012

PENYAKIT THYROID


PENYAKIT THYROID

Hypothyroidisme yang tidak berbahaya selama kehamilan bisa mengakibatkan pengertian yang signifikan dan kekurangan saraf lain di dalam janin. Itu juga meningkatkan resiko dari preeclampsia, kelahiran prematur, dan kelahiran dengan berat badan rendah. Penyebab hypothyroidisme selama kehamilan meliputi penyakit autoimun seperti Hashimoto thyroiditis, kekurangan yodium (yang luar biasa di Amerika Serikat), dan disfungsi thyroid  pasca operasi atau terapi ablatif untuk penyakit Grave. Terapi penggantian thyroid harus dimulai jika hypothyroidisme didiagnosa selama kehamilan; tujuannya adalah untuk mencapai konsentrasi thyrotropin yang normal. Wanita-wanita yang menerima terapi penggantian thyroid sebelum kehamilan dapat mengharapkan peningkatan dosis yang diperlukan yaitu 25% sampai 50% selama kehamilan. Setelah pemberian, suplemen thyroid yang ibu butuhkan menurun.
Hipertiroidisme selama kehamilan dapat mempercepat kematian janin, kelahiran dengan berat badan rendah, cacat, dan gagal jantung pada ibu. Penyakit Grave adalah yang paling umum penyebab hipertiroidisme pada kehamilan. Terapi untuk hipertiroidisme selama kehamilan meliputi  obat-obat golongan thioamide (seperti propylthiouracil, metimazola) dan operasi. Propylthiouracil menurut sejarah adalah senyawa yang lebih disukai sebab diperkirakan sedikit menembus plasenta dan kecil kemungkinannya menyebabkan cacat pada janin; tetapi bukti terbaru tidak mendukung pendapat ini. Iodine-131 dikontraindikasikan pada kehamilan oleh karena beresiko terjadi kerusakan thyroid di dalam janin. Tujuan dari terapi hipertiroidisme pada kehamilan adalah untuk mencapai indeks konsentrasi thyroxin bebas atau konsentrasi thyroxin bebas di atas dari batas normal; keadaan dapat meminimalkan dosis dari thioamide. Faktor tambahan yang dapat menurunkan dosis propylthiouracil adalah resolusi parsial penyakit sebagai hasil alami dari penyakit Grave selama kehamilan.

KERJA DAN PELEPASAN

Mekanisme dari awal mula kerja telah diterangkan di dalam sistem mammalia dan sistem hewan primata, tetapi mekanismenya pada manusia masih belum jelas. Transisi dari fase 0 (pasif) sampai fase 1 (aktivasi) bisa diterangkan oleh hilangnya inhibisi aktivitas mediator-mediator uterus, seperti progesteron, prostacyclin, dan lain-lain. Ketika pengaktifan terjadi, oksitosin, prostaglandin E2, dan prostaglandin F meningkat dan merangsang kontraksi uterus.

KELAHIRAN PREMATUR

Kelahiran prematur diartikan sebagai perubahan serviks dan kontraksi uterus yang terjadi sebelum  37 minggu masa kehamilan. Di Amerika Serikat, tingkat terjadinya kelahiran prematur adalah 11% sebaliknya pemerintah berupaya keras untuk menurunkan tingkat kelahiran prematur.  Sekitar 35% dana yanhg dihabiskan untuk pelayanan kesehatan bagi bayi prematur, kelahiran prematur merupakan penyebab utama dari tingkat kesakitan dan tingkat kematian bayi. Faktor-faktor resiko melahirkan prematur termasuk pada saat sebelum melahirkan, infeksi (seperti bakteri vagina, infeksi bagian atas dan bawah dari saluran kemih, dan penyakit kelamin menular), kehamilan kembar, kemiskinan, orang kulit hitam, faktor komplikasi sang ibu (misalnya merokok dan penggunaan obat-obat narkotika atau alkohol), penyebab-penyebab fungsional kandungan (misalnya lemahnya leher rahim dan dinding rahim), dan penyebab pada janin (misalnya cacat lahir dan pertumbuhan yang lambat).
Di samping pengetahuan mengenai faktor-faktor resiko dari kelahiran prematur, belum ada pengujian yang baik untuk memonitor dan mencegah kelahiran prematur. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan dari penilaian serviks secara rutin atau  pemantauan dari  aktivitas uterus untuk meningkatkan hasil. Adanya fibronektin dari janin, suatu protein ekstraselular di dalam serviks dan sekresi vagina, di dalam serviks dan vagina setelah 20 minggu resiko tiga kali lipat dari kelahiran prematur. Juga, panjang dari leher rahim yang kurang dari 30mm berhubungan dengan resiko peningkatan terjadinya kelahiran prematur. Bagaimanapun, penentuan fibronektin pada janin dan ultrasonografi leher rahim tidaklah membantu untuk mencegah kelahiran prematur tetapi lebih bermanfaat bagi mereka yang ternyata diprediksi negatif.

TERAPI TOKOLITIK

Penanganan kelahiran prematur telah dipusatkan pada penggunaan obat-obat tokolitik. Tujuan dari terapi tokolitik adalah menunda kelahiran cukup lama untuk mengurangi timbulnya masalah yang berhubungan dengan prematur. Tokolitik belum menunjukkan pengurangan jumlah angka kelahiran prematur, tetapi mereka mungkin memberikan cukup waktu bagi penggunaan kortikosteroid sebelum masa kelahiran untuk meningkatkan perkembangan paru-paru dan  transportasi bagi ibu untuk melengkapi fasilitas yang berhubungan dengan tingginya resiko melahirkan.
Terapi tokolitik jangan digunakan pada kasus infeksi intrauterus, distress janin, preeclampsia yang menyakitkan, pendarahan vagina, dan ketidakstabilan peredaran darah si ibu. Kriteria untuk memulai tokolisis adalah kontraksi uterus yang tetap dengan perubahan leher rahim. Pada wanita dengan pelebaran leher rahim > 3 cm, terapi tokolitik kurang efektif.
Ada lima golongan  terapi tokolitik : senyawa β-adrenergik, Ca channel blocker, Mg senyawa AINS dan etanol. Empat golongan terapi pertama memiliki efectivitas yang hampir sama dalam memperpanjang kehamilan dari 48 jam sampai 1 minggu. Etanol belum menunjukkan efektivitasnya dalam memperpanjang kehamilan.
Senyawa-senyawa β-adrenergik terbutalin dan ritodrin adalah obat pilihan pertama dalam terapi tokolitik. (Dari keduanya, hanya ritodrin yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan, tetapi sudah tidak ada di peredaran pada tahun 1997 dan 1998 karena industri-industri tidak lagi tertarik untuk memproduksi obat ini). Obat ini menurunkan kadar kalsium intraseluler dan menurunkan sensitivitas dari unit kontraksi dengan kalsium. Sehubungan dengan senyawa-senyawa lain, β-agonis memiliki efek samping yang tinggi terhadap ibu hamil, termasuk hiperkalemia, aritmia, hiperglikemia, hipotensi dan udem paru. Range dosis terbutalin yang dianjurkan dari 250-500 mcg secara subkutan setiap 3-4 jam.
Magnesium sulfat bisa digunakan pada infus intravena sebagai senyawa tokolitik. Mekanisme aksinya adalah menekan impuls saraf ke otot polos uterus dengan mengantagonis kalsium intraseluler. Efek samping pada ibu jarang terjadi tetapi dapat terjadi udem paru. Pada level toksik, hipotensi, paralisis otot, tetanus, gagal jantung dan depresi pernapasan dapat terjadi. 
Nifedipin diketahui memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan terapi magnesium atau β-agonis. Beberapa studi-studi telah mengusulkan bahwa Ca channel blocker memiliki kerja yang lebih panjang daripada β-agonis. Satu hal yang harus diperhatikan pada penggunaan nifedipine adalah potensi efek negatif pada aliran darah di antara plasenta dan uterus. Bagaimanapun, satu meta-analisis belum menunjukkan peningkatan bahaya pada janin oleh golongan Ca channel blocker. Dengan hasil diagnosa awal kelahiran prematur, 5 sampai 10mg nifedipine bisa diberikan secara sublingual setiapo 15-20 menit dalam 3 dosis. Pada saat kondisi pasien stabil dan tidak tanda-tanda terjadinya dilatasi leher rahim lanjutan, 10-20 mg nifedipine dapat diberikan peroral setiap 4-6 jam selama kontraksi prematur.
Obat-obat AINS seperti indometasin juga telah digunakan untuk tokolisis. Mekanisme aksinya adalah menghambat aktivitas prostaglandin leher rahim. Obat ini pertama kali diberikan secara oral atau rektal dengan dosis 50-100 mg, diikuti dengan dosis per oral 25-50 mg setiap 6 jam. Pada peningkatan laju kontraksi prematur dari duktus arteriosus telah dicatat di dalam bayi.
Sejak infeksi dipahami berperan dalam etiologi kelahiran prematur, antibiotik sudah digunakan, sebagai tambahan pada tokolitik dan kortikosteroid, untuk meningkatkan efeknya pada kelahiran premtur. Banyak studi mengenai penggunaan antibiotik pada kelahiran prematur yang tidak menunjukkan reduksi  timbulnya kelahiran prematur, dan meta-analisis menunjukkan suatu kecenderungan kematian neonatal yang menggunakan antibiotik. Oleh karena itu penggunaan antibiotik secara rutin tidak dianjurkan.




KONTROVERSI KLINIK

            Setelah dicapai tokolisis akut, terapi tokolitik lanjutan masih diperdebatkan.terapi pemeliharaan dengan tokolitik belum menunjukkan hasil. Bagaimanapun, beberapa ahli kesehatan akan menggunakan tokolitik pemeliharaan seperti β-agonis atau nifedipin untuk pengobatan pasien yang sering mengalami kontraksi tanpa perubahan leher rahim.

KORTIKOSTEROID ANTENATAL

Sejumlah uji klinis telah menunjukkan manfaat pemberian kortikosteroid sebelum kelahiran untuk pencegahan sindrom depresi pernafasan, pendarahan intraventrikular, dan kematian janin yang dilahirkan secara prematur.rekomendasi klinik pada masa kini adalah dengan pemberian betametason 12 mg secara intra muskular setiap 24 jam untuk 2 dosis atau dexamethason 6 mg secara intra muscular setiap 12 jam untuk 4 dosis. Pada wanita hamil antara 24 dan 34 minggu masa kehamilan yang beresiko melahirkan prematur selama 7 hari kedepan.manfaat kortikosteroid sebelum kelahiran dipercaya bermula selama 24 jam.telah ditemukan bahwa pengulangan pembrian kortikosteroid tidak menghasilkan peningkatan manfaat bagi janin dan cenderung menimbulkan bahaya.

INFEKSI  STREPTOCOCCUS  KELOMPOK B

            Infeksi pada ibu oleh Streptococcus kelompok B berhubungan dengan penyebaran penyakit pada saat baru melahirkan. Wanita-wanita yang terinfeksi oleh Streptococcus kelompok B selama kehamilan memiliki resiko yang tinggi melahirkan prematur dan transmisi bakteri ke bayi selama proses kelahiran. Antara 10% dan 30% wanita yang hamil terinfeksi oleh Streptococcus kelompok B.
            Dengan usaha-usaha  pencegahan pada tahun 1990-an, timbulnya penyakit pada awal kelahiran sekarang ini sekitar 0,5 tiap 1000 kelahiran, berkurang dari 1,8 kasus tiap 1000 kelahiran. Belum ada perubahan apapun mengenai infeksi yang terjadi satelah proses kelahiran oleh Streptococcus kelompok B, dimana tetap sekitar 0,35 kasus tiap 1000 kelahiran. Konsekuensi dari infeksi neonatal termasuk bakteremia, pneumonia, dan meningitis pada bayi yang baru lahir. Angka kasus kematian yang terjadi sekitar 4%.
            Pada tahun 2002, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit meninjau kembali rekomendasi untuk pencegahan infeksi Streptococcus kelompok B. Sebagai pengganti dari resiko perencanaan skrining yang telah dikembangkan pada tahun 1996, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit sekarang ini menganjurkan skrining prenatal secara menyeluruh untuk memeriksa koloni Streptococcus kelompok B pada semua wanita hamil kira-kira 35-37 minggu masa kehamilan. Kultur-kultur dari vagina dan rektal hatrus diperoleh pada minggu ke 35-37 masa kehamilan. Kultur dinyatakan  positif, apabila wanita tersebut sebelumnya mempunyai bayi yang terinfeksi oleh Streptococcus kelompok B, atau jika terdapat bakteri Streptococcus kelompok B pada urine, maka perlu diberikan antibiotik. Jika negatif, antibiotik tidak perlu diberikan. Jika wanita itu menunjukkan akan melahirkan dan tidak ada hasil informasi dari skrining yang didapat, antibiotik diberikan untuk demam 100,4o F atau lebih, unrtuk ruptur membran pada 18 jam atau lebih, atau jika kurang dari 37 minggu masa kehamilan.
            Sekarang ini rejimen yang dianjurkan untuk penyakit yang disebabkan oleh Streptococcus kelompok B adalah penisillin G sebanyak 5 juta unit diberikan secara intravena, diikuti dengan 2,5 juta unit yang diberikan setiap 4 jam sekali. Sebagai alternatif, ampisillin 2 g dapat diberikan secara intravena, dilanjutkan dengan 1 g setiap 4 jam. Jika pasien alergi terhadap penisillin dan tidak menunjukkan reaksi anafilaksi, sefazolin 2 g secara intravena, dilanjutkan 1 g setiap 8 jam haruslah diberikan. Pada pasien yang beresiko tinggi terjadi anafilaksi, klindamisin 900 mg secara intravena setiap 8 jam atau eritromisin 500 mg secara intravena setiap 6 jam haruslah diberikan. Pada kasus wanita yang alergi terhadap penisillin, kultur Streptococcus kelompok B harus diuji sensitivitasnya. Jika Streptococcus kelompok B resisten terhadap klindamisin atau eritromisin, wanita tersebut harus menerima vankomisin 1 g secara intravena setiap 12 jam.




INDUKSI PEMATANGAN SERVIKS DAN KELAHIRAN

            Sepanjang masa kehamilan, serviks tertutup dan rapat. Selama beberapa minggu terakhir kehamilan, serviks menjadi lebih lembut dan tipis untuk memfasilitasi proses melahirkan. Proses ini diperantarai oleh perubahan hormon, termasuk mediasi terakhir oleh prostaglandin E2 dan F, yang mana menyebaban peningkatan aktivitas kolagen di dalam serviks yang menyebabkan penipisan dan dilatasi.
            Range laju induksi kehamilan yaitu dari 9,5% - 33,5%. Alasan yang paling umum dilakukan induksi adalah mundurnya jadwal kelahiran ( lebih dari 42 minggu ), yang mana terjadi sekitar 10% dari semua kehamilan. Alasan lain untuk induksi termasuk diperkirakan lambatnya perkembangan janin, ibu yang hipertensi, ruptur membran yang terlalu cepat tanpa adanya aktivitas atau tanda-tanda kelahiran, atau faktor sosial. Kontrindikasi untuk induksi termasuk plasenta previa, miring atau posisi melintang, struktur pinggul yang abnormal, tali pusar yang terikat dan herpes aktif. Perhatian ditujukan pada induksi kelahiran yang mungkin tidak efektif atau efek samping seperti hiperstimulasi uterus mungkin berpengaruh buruk terhadap bayi, meningkatkan kemungkinan operasi Cesar.
Satu sistem penilaian telah digunakan untuk menentukan kemungkinan peningkatan kelahiran yang berhasil. Sistem yang paling umum digunakan adalah sistem penilaian Bishop, yang didasarkan pada kelahiran awal secara alami  dari kebanyakan wanita. Penilaiannya berdasarkan lima parameter: dilatasi leher rahim,  penipisan leher rahim, posisi kepala bayi, konsistensi dalam cervix, dan posisi cervix. Penilaian Bishop kurang dari 6 berarti bahwa pasien memerlukan pematangan leher rahim, dan penilaian lebih besar dari 8 berarti bahwa pasien kemungkinan akan melahirkan secara sukses.
            Ada beberapa metode nonfarmakologik untuk pematangan leher rahim. Minyak jarak, mandi air hangat, bersenggama, dan stimulasi puting susu semuanya telah dianjurkan untuk meningkatkan kelahiran. Bagaimanapun, ada bukti kecil untuk mendukung keberhasilan metode ini. Penempatan kateter Foley kedalam saluran leher rahim pada cervix yang kurang baik digunakan untuk pematangan telah ditemukan  sama efektifnya dengan prostaglandin E2. Satu metode yang aman dan murah, pengelupasan membran adalah nilai yang utama.
            Suplemen herbal juga telah digunakan untuk meningkatkan kelahiran. Senyawa-senyawa yang paling umum disebutkan adalah minyak bunga mawar sore, haw hitam,  cohosh hitam dan biru, dan buah frambus merah. Midwives telah menjadi kelompok ahli medis yang umum menggunakan senyawa ini. Sekarang ini, tidak ada bukti yang mendukung keamanan dan kemanjuran senyawa herbal.
Analog-analog prostaglandin E2 ( misalnya: dinoproston, prepidil, dan cervidil ) biasa digunakan sebagai agen farmakologi untuk pemtangan leher rahim. Prepidil jel diberikan secara intracervikal dengan dosis 500 mcg. Ini dapat diulangi setelah 6 jam dengan 3 dosis dalam 24 jam. Setelah pemberian, pasien terlentang selama 30 menit. Cervidil, suatu ovula, mengandung 10 mg dinoprostone lepas lambat, melepaskan obat lebih konstan dibandingkan jel. Pemasukan dapat dipindahkan ketika kelahiran dimulai atau setelah maksimum 24 jam. Pasien harus di monitor denyut jantung janin nya selama jangka waktu penggunaan cervidil dan selama 15 menit sebelum dipindahkan.
            Misoprostol, suatu analog prostaglin E1, merupakan metode yang lebih efektif dan murah untuk pematangan leher rahim dan induksi kelahiran. Misoprostol tidak disetujui oleh FDA untuk pematangan leher rahim, dan pengusaha industri tidak tertarik mendiplomasikan indikasi ini. Karena induksi kelahiran bukan satu-satunya indikasi penggunaan obat ini, dan karena dihubungkan dengan pecahnya uterin, beberapa rumah sakit telah menghentikan penggunaannya sebagai agen induksi. Pemberian intravaginal misoprostol 25 mcg etiap 4 jam untuk enam dosis lebih efektif dibandingkan agen prostaglandin lainnya dan menyebabkan waktu yang lebih pendek untuk melahirkan. Efek samping paling umum ditemukan adalah hiperstimulasi kandungan dan cairan mekonium-amniotik berwarna. Penggunaan misoprostol di kontraindikasikan pada wanita dengan bekas luka kandungan sebelumnya karena dihubungkan dengan pecahnya kandungan, kejadian kecelakaan medis.  
            Mifepriston adalah senyawa antiprogesteron yang sekarang dipelajari sebagai agen induksi. Studi-studi persiapan menunjukkan mifepriston dibandingkan dngan plasebo menghasilkan waktu yang lebih pendek dalam melahirkan dan lebih sedikit proses cesar. Ada sedikit informasi yang bermanfaat pada janin dan ibu karena sejumlah kecilnya jumlah sampel          
            Oksitosin adalah senyawa yang paling umum digunakan untuk induksi kelahiran setelah pematangan leher rahim. Pada ujung kehamilan, banyak reseptor yang peka terhadap rangsangan oksitosin meningkat sampai 300 kali lipat. Larutan 10 mU/ml digunakan untuk infus. Oksitosin telah menunjukkan manfaat dalam kedua perlakuan dosis rendah (fisiologi) dan dosis tinggi (farmakologi).

MELAHIRKAN TANPA RASA SAKIT

            Selama fase pertama proses melahirkan, wanita merasakan sakit yang mendalam berhubungan dengan kontraksi uterus, selama fase kedua, rasa sakit berhubungan dengan peregangan perut. Persepsi sakitdari tiap wanita berbeda-beda sebagai respon dari fisiologi, psikososial, kebudayaan, dan pengaruh lingkungan.

PENDEKATAN NONFARMAKOLOGIS UNTUK MENGHILANGKAN RASA SAKIT

            Sejumlah cara nonfarmakologis telah digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada saat melahirkan. Wanita yang mendapatkan dukungan berkala dari a doula, wanita hamil yang dilatih untuk proses kelahiran, berkurang rasa sakitnya pada operasi melahirkan secara normal, operasi cesar, dan permintaan obat penghilang rasa sakit. Dukungan dari dokter dan selanjutnya dukungan dari perawat tidaklah menunjukkan pengaruh yang besar bagi proses kelahiran. Membasuh dengan air hangat memberikan keringanan rasa sakit untuk tetapi tidak menunjukkan berkurangnya penggunaan obat –obat untuk menghilangkan rasa sakit. Injeksi intradermal dari air steril pada daerah penting menunjukkkan berkurangnya rasa sakit selama proses melahirkan 45-90 menit. Meskipun begitu, tidak berkurang permintaan untuk obat-obat penghilang rasa sakit.





PENDEKATAN FARMAKOLOGIS UNTUK NYERI PADA SAAT MELAHIRKAN

            Pada tahun 2000, Universitas Obstetri dan Ginekologi Amerika bersama dengan Lembaga Anastesiologis Amerika, pernyataan yang sama tentang nyeri melahirkan. Mereka menyatakan bahwa melahirkan menyebabkan rasa yang sangat nyeri dan jika wanita tersebut meminta obat-obat penghilang rasa nyeri, itu merupakan indikasi medis untuk meringankan rasa sakit. Dua jenis utama cara farmakologi di Amerika Serikat : opioid parenteral dan analgesia epidural.
            Antara 39% dan 56% wanita di Amerika Serikat menerima obat-obat narkotika secara parenteral untuk mengurangi nyer melahirkan. Meperidin, morfin dan fentanil adalah obat yang paling umum digunakan. Jika dibandingkan dengan analgesia epidural, opioid parenteral memiliki angka yang rendah dari augmentasi oksitosin, berkhasiat lebih pendek pada saat melahirkan, dan memerlukan sedikit peralatan untuk pemakaiannya. Meskipun begitu, para wanita kurang puas terhadap pengobatan nyeri yang mereka alami dengan opioid parenteral daripada dengan analgesia epidural.
            Kira-kira 60% wanita memilih analgesia epidural untuk mengurangi nyeri selama melahirkan. Analgesia epidural membutuhkan suatu selang ke dalam ruang epidural dan pemberian obat (misalnya bupivacain atau fentanil) untuk mengurangi rasa sakit saat melahirkan. Cara yang lain adalah mengkombinasikan spinal-epidural, yang mana injeksi tunggal opioid dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid, mengurangi nyeri secara cepat, dan memasukkan selang epidural dengan amastesi lokal. Wanita yang diberi anastesi epidural melaporkan berkurangnya nyeri lebih baik dibandingkan dengan Cara yang lain. Analgesia epidural dihubungkan dengan perpanjangan fase pertama dan kedua dari proses melahirkan, jumlah peralatan yang banyak, dan ibu yang demam. Komplikasi yang jarang terjadi dari anastesi epidural adalah kebocoran ruang subarakhnoid yang menyebabkan sakit kepala. Ini terjadi sekitar 2% pada wanita. Komplikasi yang lain termasuk hipotensi, nausea, vomiting, rasa gatal dan retensi urin. Nyeri pinggang yang ringan tidak berhubungan dengan penggunaan analgesia epidural.
            Hambatan paraservikal menggunakan anastesi lokal mungkin mengurangi nyeri yang berkaitan dengan fase pertama kelahiran. Bagaimanapun juga, Jenis hambatan ini dapat menyebabkan bradikardia pada janin dan jarang sekali digunakan pada praktek klinis.
            Terakhir, nitrogen oksida tidak digunakan di Amerika Serikat tetapi merupakan analgetik yang biasa digunakan di negara-negara berkembang. Sekitar 50 : 50 nitrogen oksida dan oksigen adalah yang paling umum digunakan sebagai campuran. Pasien dapat melakukan pengobatan sendiri atau menerima obat tersebut secara berkala di bawah pengawasan ahli medis.  Pasien melaporkan nyeri yang dialaminya sudah sangat berkurang. Efek samping termasuk nausea, vomiting dan menyebabkan kelahiran yang tidak baik.

KONTROVERSI KLINIS

            Banyak ahli kesehatan mempercayai bahwa analgesia epidural berkaitan dengan tingginya jumlah kelahiran secara cesar. Meskipun begitu, dua sistematik meninjau kembali tidak ada kebenaran laju peningkatan kelahiran secara cesar yang disebabkan oleh pemakaian analgesia epidural dibandingkan dengan opioid parenteral. Salah satu peninjauan, meskipun begitu, memperingatkan bahwa mungkin tidak ada data yang lengkap untuk mengesampingkan seperti hubungan tersebut.

PERMASALAHAN PASCA MELAHIRKAN

PENGGUNAAN OBAT SELAMA MENYUSUI

            Walaupun kebanyakan obat akan berdifusi ke dalam ASI, ada sedikit kejadian dimana air susu berhenti. Ahli pelayanan kesehatan harus menganjurkan wanita menyusui yang perlu menggunakan obat-obat untuk melancarkan air susu kapan saja dibutuhkan. Obat-obat yang dibutuhkan oleh ibu untuk memompa dan membuang air susu adalah sedikit.
            Ada bukti kuat tentang keuntungan dari menyusui. Air susu ibu memiliki komposisi yang lengkap dari nutrisi, faktor pertumbuhan, enzim-enzim, faktor kekebalan, dan hormon bagi bayi. Bayi yang menyusu memiliki sedikit penyakit pernafasan, alergi, otitis media, limfoma, dan gastroenteritis daripada bayi yang diberi susu dalam botol.
            Ada juga keuntungan bagi ibu yang menyusui. Wanita menyusui lebih cepat kehilangan berat badan yang didapat pada waktu hamil, menunda permulaan periode menstruasi, dan memiliki resiko yang kecil terkena kanker ovarium, kanker payudara premenopause, dan osteoporosis.
            Ibu-ibu menyusui biasanya memproduksi 6000-1000 ml air susu tiap hari untuk bayi mereka. Pemindhan obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu ke dalam air susu terjadi melalui difusi secara pasif dari senyawa yang tidak terionisasi dan tidak terikat dengan protein. Kadar obat yang tinggi dalam serum darah ibu, maka tinggi pula kadar obat du dalam air susu. Obat-obat yang memiliki berat molekul yang tinggi, rendah kelarutannya dalam lemak, atau terikat kuat dengan protein sedikit sekali menembus ke dalam air susu. Jika kadar plasma ibu menurun karena metabolisme dan ekskresi obat, adar obat dalam air sus mungkin didistribusi kembali ke dalam aliran darah ibu.
            Beberapa faktor yang mempengaruhi banyaknya obat dalam tubuh bayi akan diperoleh melalui air susu. Banyaknya susu yang diproduksi, komposisi susu (susu yang masak versus kolostrum), konsentrasi obat, dan tingkat pengeluaran selama sebelum menyusui akan mempengaruhi banyaknya obat yang dikonsumsi oleh bayi.
            Bayi-bayi juga memiliki perbedaan kemampuan mereka untuk mengabsorbsi, memetabolisme, dan mengekskresikan obat yang mereka cerna. Bayi prematur dan bayi normal mungkin belum mungkin belum memiliki fungsi hati yang optimal pada 2 minggu pertama setelah kelahiran. Fungsi ginjal pada bayi normal belum mencapai kedewasaan sampai usia 2-4 bulan. Bayi yang usianya lebih tua mungkin memperoleh kalori dari sumber makanan lain disamping air susu dan konsumsi obat jauh lebih sedikit.
            Obat yang aman pada masa kehamilan tidak selalu dijamin aman pada masa menyusui, tetapi pemahaman ini mungkin juga benar. Untungnya kebanyakan obat-obat yang tercantum dalam pernyataan dari American Academy of  Pediatrics layak digunakan pada masa menyusui.
            Cara-cara untuk mengurangi jumlah obat yang ditransfer ke bayi mungkin termasuk seleksi obat yang juga perlu dipertimbangkan keamanannya untuk diberikan kepada bayi dan gunakan obat topikal, jika mungkin. Obat-obat yang memiliki waktu paruh (t½) yang lebih pendek cenderung sedikit terakumulasi, dan obat yang terikat lebih kuat dengan protein tidak menembus ke dalam air susu. Obat-obat dengan bioavailabilitas oral yang rendah dan kelarutan yang rendah dalam lemak juga merupakan pilihan yang baik. Jika ibu menggunakan obat 1 kali sehari, distribusi pada waktu istirahat mungkin lebih baik untuk meningkatkan interval pada waktu konsumsi selanjutnya. Untuk obat-obat yang diminum beberapa kali sehari, pemberian obat segera setelah menyusui juga akan memberikan interval waktu yang lebih panjang bagi obat untuk berdifusi kembali dari kelenjar air susu jika kadar plasma obat pada ibu menurun.

MASTITIS

            Wanita yang pernah mengalami mastitis sering pada awalnya merasakan kelelahan, payudara yang terasa perih, dan mengeluhkan gejala-gejala seperti flu. Seringkali payudara yang terasa sakit hanya pada satu bagian saja dan umumnya terletak pada bagian atas dari lingkaran luar. Timbulnya mastitis yang paling parah terjadi antara 1-2 minggu awal menyusui. Resiko berkembangnya mastitis mungkin lebih tinggi pada situasi dimana pola menyusui mengalami perubahan, jumlah menyusui tiap harinya menurun, air susu pada payudara yang pertama belum habis namun sudah diganti dengan yang lain, bayi yang menghisap kurang baik, produksi air susu ibu yang berlebihan, ibu atau bayi yang sedang sakit.
            Staphylococcus aureus adalah organisme yang paling sering menyebabkan mastitis. Antibiotik yang digunakan untuk pengobatan mastitis termasuk penisillin yang bersifat melawan penisillinase ( contohnya kloksasilin, dikloksasilin, dan oksasilin ) dan sefalosporin ( misalnya sefaleksin ). Antibiotik sering diberikan selama 10-14 hari. Obat-obat antiinflamasi, seperti ibuprofen juga dapat diberikan untuk nyeri. Pencegahan kambuhnya mastitis melalui cara-cara menyusui seperti frekuensi menyusui atau memompa payudara dan reduksi peradangan payudara.




DEPRESI  PASCA  MELAHIRKAN

            Depresi utama setelah melahirkan telah dilaporkan mempengaruhi sekitar 12%-16% wanita, mungkin lebih dari 26% terjadi pada wanita remaja. Depresi utama yang sebenarnya setelah melahirkan bervariasi dan tergantung pada waktu setelah melahirkan dimana depresi tersebut mulai terlihat.
            Kedua pilihan obat dan non-obat tersedia untuk mengobati depresi pasca melahirkan. Terapi tanpa megggunakan obat termasuk dukungan emosional dari keluarga dan kerabat, edukasi terhadap keadaan, dan psikoterapi. Terapi penyinaran ( efektif untuk penyakit musiman dan penyakit bukan musiman ) juga memberikan manfaat. Pengobatan secara farmakologi mungkin diperlukan pada awalnya sebab depresi yang tidak diobati akan memberikan dampak negatif  pada kesehatan ibu dan hubungannya dengan bayi. Cara penggunaan antidepresan setelah melahirkan termasuk, 1; seleksi dengan cermat penggunaan obat berdasarkan keterangan dari pasien dan literatur yang berhubungan dengan efek obat yang merugikan saat menyusui bayi, 2; pengawasan terus-menerus dari dosis obat yang diperlukan sehubungan dengan kemanjuran dan potensial toksisitas obat, 3; gunakan senyawa obat yang diketahui terbatas pemaparannya terhadap bayi, 4; jika mungkin, gunakanlah senyawa tunggal, 5; perkiraan yang terus-menerus terhadap kemungkinan toksisitas obat pada bayi, dan 6; perhatian terhadap farmakokinetika obat dengan metabolitnyayang sedikit atau tidak aktif. Obat-obat yang paling sering digunakan untuk mengobati depresi utama pasca melahirkan termasuk Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI’s) dan antidepresan trisiklik. Sejumlah kecil kasus dilaporkan dan dipelajari untuk memberikan saran tentang keamanan obat-obat tersebut jika diberikan pada masa menyusui.
RELAKTASI

            Berkurangnya kadar serum prolaktin menyebabkan penurunan atau terhentinya proses laktasi, dan ini dapat menjadi masalah, seperti stress, bagi ibu yang ingin sekali menyusui bayinya.Relaktasi adalah proses meningkatnya suplai air susu pada ibu. Laktasi juga dapat diinduksi pada wanita yang tidak sedang melahirkan bayi, seperti ibu asuh. Terapi utama untuk kondisi seperti ini memerlukan stimulasi puting susu baik dengan menyusui bayi atau memompa payudara dengan pompa mekanik atau tangan. Salah satu studi menunjukkan bahwa senyawa di dalam bir dan bir nonalkohol dapat merangsang sekresi prolaktin dengan demikian menngkatkan produksi susu.
            Terapi secara farmakologi yang dianjurkan di Amerika Serikat untuk proses relaktasi adalah metoklopramid, yang mana harus digunakan hanya jika terapi nonobat tidak efektif. Dosis yang paling lazim adalah 10 mg per oral 3 x 1 hari selama 7-14 hari.Produksi air susu dapat meningkat hingga 100% atau lebih pada wanita pasca melahirkan kurang dari 1 bulan, bagi wanita pasca melahirkan 8-12 minggu, produksi susu mungkin meningkat hingga 40%. Produksi air susu mungkin menurun setelah terpi dengan metokloprmid dihentikan, tetapi jika proses laktasi sudah berjalan dengan baik, maka hal itu akan terus berlangsung.

KESIMPULAN

            Memberikan pelayanan kesehatan kepada wanita selama kehamilan sangat bermanfaat, tetapi pada waktu yang sama bisa sangat sulit. Banyak wanita merasakan resiko tinggi cacat lahir akibat pemakaian obat selama kehamilan. Persepsi ini, berhubungan dengan tingginya angka kehamilan yang tidak direncanakan, mungkin membuat cemas karena penggunaan obat sebelum mengetahui kehamilan.
            Beberapa obat dianggap aman untuk digunakan pada saat hamil karena interval pemberian apakah meningkatkan laju angka cacat lahir tidaklah jelas. Wanita yang mengggunakan obat-obat ini harus diberitahu bahwa pilihan ini tidaklah meningkatkan resiko cacat lahir. Pada beberapa kasus, obat-obat yng berhubungan dengan resiko tinggi memberikan efek yang merugikan janin perlu diseleksi atau dilanjutkan untuk menjamin kesehatan sang ibu dan khususnya janin. Dalam hal ini, informasi yang benar tentang jenis dan kemungkinan efek samping akan membantu pasien dan keluarganya dalam membuat keputusan.
            Dokter yang melayani wanita hamil perlu bekerjasama untuk mengamati, mengevaluasi dan menyampaikan informasi yang terbaru kepada pasien merek. Penggunaan teknologi untuk mengakses hal-ha yang terjadi berdasarkan sumber-sumber, keterangan-keterngan yang berhubungan dengan penggunaan obat selama kehamilan, dan kepustakaan utama mungkin membantu dokter dalam mengakses informasi pengobatan yang sesuai untuk mengatur terapi obat yang diperlukan selama kehamilan dan menyusui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar